Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]



Sumber lukisan: IndoProgres

Kisah Kasih di Baitul Makmur

di pagi yang sejuk ini
kunikmati hembusan lembut semilir angin
kuresapi nyanyian tetumbuhan
aduhai...
ikan-ikan hias menari di kolam itu,
ia berlari ke sana-ke sini
seolah keriangan tak memberikan tempat bagi duka
sembari kunikmati secangkir kopi panas
kulihat bangunan artistik dari bahan kayu
menegaskan tempat jauh dari kesan mewah
bukankah nuansa di tangan sang kreatorlah
tiap antraksinya menyulap
nuansa kesunyatan digenggam kuasa-Nya

duh, di pagi yang makin syahdu ini
pijar matahari malu-malu menyembulkan panasnya
kulihat awan menari-nari
berarak dengan pelannya
dalam binarnya
menyembulkan makna pada yang Haq
kehindahan ciptaan-Nya tak ada dua

biarlah pijar matahari tetap nyalakan harapan dan semangat
biarlah binar awan berjalan di peraduannya yang tak menentu
aku tetap menyesapi tiap kicau demi kicau burung merpati
dan kokok ayam katik
tentang isyarat tentang penantian antrian panjang hidup ini.

di pagi yang akan akan berlalu ini
kusisir tiap rasa melalui lantutan lagu:
"Ghannili Syuwayya-Syuwayya” dan “Sa’aluninnas”

biarlah mayang risau berlogika berlayar pada samudera kerinduan
mengitari hakikat kemanusiaanku, Tuhan
bahwa tak yang tunggal dari semesta ini
tak ada sajak-sajak kerinduan yang tak tertandingi
di antara derai air mata dan tawa bahagia
bukankah pusat pada-Mu lah jua
berjalin kelindan pada semesta pujian
atas kemanunggalingan-Nya
yang tak berujung
duh,
betapa nuansa di sepotong pagi di baitul makmur ini
pada sejuk lahir-batinku asyik-masyuk
hingga lonceng waktu mendetingkan isyarat
tak akan lama kita berlabuh pada kemundang azan zuhur

Baitul Makmur, Sendang, Sumenep, 2019


Tentangmu di Belantara Kata

tenggelam dalam sungai makna
kutemukan sangkar keheningan
pada sajak-sajakku yang lama mengendap
terbingkai dalam tubuh keangkuhan.
aku masih di derak meja, bersama penyamun
berkilah tentang secauan anggur,
hingga tawa, canda, hingga genangan air mata
meragukanku di pangkal waktu.
aku berlalu
hingga, kita sama-sama terpasung abjad kenangan
yang masih bergelantungan.

Jogja 2019.


Kukira Hidupku Tak Seimbang

Kukira, hidupku bertahan sampai 1001 tahun
Kuingin capai cita ini dan itu
Malam, pagi, siang, dan sore. Hingga
kuterjetok ketidakmenentuan angan yang tak usai
Ah, ternyata
Mimpiku kepanjangan, angan-anganku berlebihan
Lupa, kalau rimba dunia adalah statiun kehidupan, yang mana
Kulihat banyak orang datang dan pergi dengan amal dan ibadahnya.
Oh iya. Ada yang kulupa
Kita terkadang berlama-lama di kedai kafe ini
Jangan anggap remeh, karena tempat ini
Laksana Altar suci: untuk merenung nasib
menenun benang asa di masa depan gemilang
sampai hakikat tentang nikmat anggur rohani ilmu suluk para sufi
Duh. Ternyata
menyesap Ilmu dari Guru Suluk beserta anggur rohaninya
aku pun harus terjetok kesibukan ini dan itu. Kutepuk jidatku
jiwa pun ikut meronta dengan kerasnya
Hatiku malah ikut menangis tak berjeda

Kukira hidup tak ada imbangnya
Kukira ada yang terlewatkan dari untaian hadis Nabi:

“I’mal lidunyâka kaan-naka ta’îsyu abadan
Wa’mal liākhiratika kaan-naka tamū’tu ghadan” (al-Hadits)

Kerjakanlah perkara keduaniaanmu, seolah-olah kau hidup selamanya
Dan kerjakan atau lakukankah perkara akhiratmu, seolah-olah kau meninggal esok hari.

Kedai Kafe, Sorowajan, 2019.




Fathor Razi, lahir di Sumenep. Puisinya masuk dalam Antologi bersama Dzikir Pengantin Taman Sare (2010). Kini tinggal di Yogyakarta.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib