Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

Ilustrasi/APPMI

D. Zawawi Imron
 
dikenal sebagai penyair kelahiran Batang-Batang, Sumenep, Madura. Sesuai KTP kelahiran beliau tercatat pada tanggal 19 Sepetember 1946. Dia tetap tinggal di daerah tempat ia menulis sajak-sajaknya. Sajak-sajaknya umumnya menghadirkan tema perenungan tentang alam, terutama alam Madura. Lingkungan tempat ia dilahirkan sangat kental dengan budaya Madura dan masyarakatnya sangat taat beragama (Islam) sehingga mempengaruhi tema sajak-sajaknya.

 

Penyair daerah yang berbakat dan berkualitas ini pertama-tama ditemukan dan dipromosikan oleh penyair Subagio Sastrowardojo. Dia hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar yang pada saat itu masih bernama Sekolah Rakyat (SR). Kemudian, ia mendaftarkan diri menjadi santri di pondok pesantren di Lambi Cabbi, Desa Gapura Tengah, Sumenep, sebuah tempat berjarak empat puluh kilometer dari kampung halamannya.

 

D. Zawawi Imron yang dikenal sebagai sosok seniman langka pernah menjabat Ketua Bidang Sastra Lembaga Kesenian Sumenep. Pertama kali Zawawi Imron menulis sajak ketika berusia 17 tahun dalam bahasa Madura. Selanjutnya, Zawawi beralih menulis dalam bahasa Indonesia karena teman-temannya mengomentari bahwa ia tampak kolot saat membacakan sajaknya dalam bahasa Madura. Dia merasa sangat berterima kasih kepada Pak Sutama, camat di tempatnya yang pertama kali memberinya kesempatan untuk mengetik puisi-puisinya. Pak Sutama itu pula yang berjasa mengirimkan puisinya ke Mingguan Bhirawa (Surabaya) asuhan Suripan Sadi Hutomo dan pertama kali disiarkan tahun 1974.

 

Buku kumpulan sajaknya, antara lain, ialah Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautan (1978), Bulan Tertusuk Ilalang (Balai Pustaka, 1982), Nenek Moyangku, Air Mata, Celurit Emas, Derap-Derap Tasbih (Pustaka Progresif, 1993), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), dan Mata Badik Mata Puisi (2012). Kumpulan Nenek Moyangku Air Mata mendapatkan hadiah Yayasan Buku Utama. Hasil karya prosanya adalah berupa buku-buku cerita remaja yang mengangkat cerita-cerita rakyat Madura, seperti Cempaka (1979), Ni Peri Tanjung Wulan (1980), dan Bangsacara Ragapadmi (1980). Kota pertama yang ia kunjungi di luar Madura adalah Surabaya pada tahun 1977, kemudian kota Jakarta pada tahun 1979, yaitu saat mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di TIM.

 

Sebuah puisi Zawawi Imron berjudul "Bulan Tertusuk Ilalang" menjadi terkenal karena sutradara Garin Nugroho pada tahun 1999 telah membuat sebuah film yang diilhami dan diberi nama dengan judul yang sama. "Bulan Tertusuk Ilalang" adalah sebuah sajak yang judulnya dipakai untuk menamai judul kumpulan puisinya. Keberadaan Zawawi Imron dalam kehidupan kesusastraan Indonesia terletak pada perannya sebagai pelopor kebangkitan penyair daerah secara nasional. Dengan demikian, Zawawi Imronlah yang pertama-tama berhasil mematahkan pandangan selama ini bahwa seorang penyair Indonesia yang berkualitas mesti lahir di kota-kota besar. Subagio mengangkat dua kumpulan puisi Zawawi, yaitu Bulan Tertusuk Ilalang dan Nenek Moyangku Air Mata, sebagai topik makalahnya pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Makasar tahun 1986.

 

Berikut ini adalah beberapa pilihan puisi D. Zawawi Imron dalam Bulan Tertusuk Lalang

 

Bulan Tertusuk Lalang

 

bulan rebah

angin lelah di atas kandang

 

cicit-cicit kelelawar

menghimbau di ubun bukit

di mana kelak kujemput anak cucuku

menuntun sapi berpasang-pasang

 

angin termangu di pohon asam

bulan tertusuk lalang

 

tapi malam yang penuh belas kasihan

menerima semesta bayang-bayang

dengan mesra menidurkannya

dalam ranjang-ranjang nyanyian

 

1978

 

 

Nyanyian Tanah Garam

 

angin yang diluluhkan bauan wangi

barangkali tak akan mampu

menghitung kerikil-kerikil sepi

perih ya, perih!

adakah duri di semak rindu?

 

aduh, paman!

kudaki punuk pundak sapimu

dengan secawan nira di tangan

untuk mengisi ruas nyawaku

wahai, bulan betah mengasuh kemarau

 

dari ekor bintang yang semalam gemetar

bisa diduga, siapa yang harus dilecut

agar bangkit kejantanan

umbul-umbul berlukis wayang

sudah tegak di sudut ladang

 

dan sebagai anak dunia

lagu lebah kuresapkan

dan sebagai anak madura

kugali kubur sebelum berperang

 

1978

 

 

Senandung Nelayan

 

angin yang kini letih

bersujud di pelupuk ibu

laut! apakah pada debur ombakmu

terangkum sunyi ajalku?

 

oi, buih-buih zaman saling memburu

kali ini doaku lumpuh

gagal mengusap tujuh penjuru

pada siapa ‘kan kulepas napas cemburu?

 

jika sebutir airmata adalah permata

tolong simpan di jantung telukmu!

 

dari bisik ke bisik perahu beringsut maju

jika nanti bulan datang menyingkap teka-tekimu

tak sia-sia kujilat luka purba

tempat senyum menetas

jadi iman dan layar

 

1976

 

 

Sungai Kecil

 

sungai kecil, sungai kecil! dimanakah engkau telah kulihat?

antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?

di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-

daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam

doaku

sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah

negeri asalmu?

di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani

mudah melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar

para perampok yang mandi merasakan sejuk airmu

sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku

dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang

            jelita kutembangkan buat kasihku         

 

1980

 

 

Ketemu Juga Akhirnya

 

kucari sosok tubuhmu

pada bias sukma di langit

meski langit tak mungkin secantik kenangan

 

nyatanya kau termangu di tikung sungai

merenungi percakapan daging dan tulang

 

ketemu juga akhirnya

bayang-bayang yang akan kekal

terkatung pada ranting penyesalan

 

kalau besok kubangun bendungan di sungai hijau

maka air harus mengalir

menyusul roh-roh yang belum pulang

 

1979

 

 

Kolam

 

kutunjukkan padamu sebuah kolam

hai, jangan tergesa engkau menyelam!

di situ sedang mekar setangkai kata

yang para pendeta tak tahu maknanya

 

dari manakah seekor capung yang biru itu?

ia datang tanpa salam dan pergi tanpa pamitan

tapi ekornya

jelas menuding pusat keheningan

 

ketika langit jadi gulita

senandung malam makin mendasar

dari kolam itu tumbuh keikhlasan

mengajarkan sujud yang paling tunjam

 

1979

 

 

Nagasari

 

membuka kulit nagasari

isinya bukan pisang madu

tapi mayat anak gembala

yang berseruling setiap senja

 

membuang kulit nagasari

seorang nakhoda memungutnya

dan merobeknya jadi dua

separuh buat peta

separuh buat bendera kapalnya

 

1978

 

 

Sapi Hitam

 

siapa tak sayang padanya?

sapi hitam bulunya hitam matanya hitam tanduknya hitam

kukunya hitam dagingnya hitam darahnya hitam hatinya

hitam

jangan sembelih ia jangan usik ia. biarkan ia bergerak

seperti arwah silakan ia datang dalam kenangan dan

mencari sepi ke ujung hati

satu saat kau akan merasa bahwa ia milikmu juga

jangan menjerit kalau ia luka dan jangan tangisi kalau ia

mati sebab matinya matimu pula

di ubun malam ia minta sediakan rumput padamu layanilah

agar kau tak punya hutang!

 

1979

 

 

Di Bukit Wahyu

 

Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?

“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga. Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.

Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.

Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur, waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-yat, mengeja-ngeja desir darahku. ada selubung lepas dariku, angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon   kenanga.

 

1979

 

 

Kerapan

 

1

saronen itu ditiup orang

darah langit jatuh di padang, hatimu yang ditapai menjadi

sarapan siang

biarkan maut menghimbau, karena jejakmu telah diangkut

orang ke sampan

 

sampai kapan ya, ujung lalang itu menyentuh awan?

ah, harum nangkamu menerbangkanku ke bintang

tapi ekorku panjang disentak anak di bumi

hingga aku turun kembali

 

2

tanduk yang dibungkus beludru itu jangan dibuka, nanti matahari

pecah olehnya

mendung, wahai mendung!

jangan curahkan tangismu

sebelum daun jati sempurna ranggasnya

maka daun-daun siwalan berayun karena angin tak henti bersiul

dan kalau putus nadimu, jangan khawatir

denyutmu akan terus hidup di laut

 

3

sepasang sapi dengan lari yang kencang membawaku ke garis

kemenangan

arya wiraraja! perlukan aku menang

aku meloncat dan terjun di lapangan

aku tertidur dan mimpiku aneh,

 

kuterima piala

berupa sebuah tengkorak

yang dari dalam

berdentang sebuah lonceng

 

4

sapi! barangkali engkaulah anak yang lahir tanpa tangis

suaramu jauh malam menderaskan kibaran panji

larimu kencang melangkahi rindu sehingga topan senang

mengecup dahimu

jangan mungkir, bulan telah tidur dalam hatimu

bisikmu lirih menipiskan pisau yang akan memotong lehermu

bila kau tak sanggup berpacu lagi

dari hati tuanmu kini terdengar semerbak bumbu

 

5

soronen itu masih saja ditiup orang

embun terangkat, kaki-kaki mengalir

dari saujana ke saujana

tuhan!

tanah lapang itu tak seberapa jauh

 

1978

Saronen = serunai untuk mengiringi kerapan sapi di Madura

 

 

Data buku kumpulan puisi

 

Judul : Bulan Tertusuk Lalang

Penulis : D. Zawawi Imron

Cetakan : I, 1982

Penerbit : PN. Balai Pustaka, Jakarta.

Tebal : 72 halaman (57 judul puisi)

Perancang Sampul : Hanung S.

 

Sumber teks: BlogKepadapuisi

Biografi lebih lengkap baca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib