Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


"Foto bersama beberapa penyair yang lolos kurasi Antologi Festival Aksara Manifesco 2019"

Kriteria Penilaian



Sudah jadi semacam rumus sepertinya bahwa jumlah kriteria penilaian dalam kerja kuratorial selalu berbanding terbalik dengan jumlah hasilnya. Yakni, semakin banyak kriteria diterapkan, semakin sedikit karya bisa diloloskan. Karena itu kami bersyukur mengetahui panitia Festival Aksara Manifesco 2019 tak menyertakan kriteria khusus untuk kami pakai saat mereka mengirimkan sekitar 1000 puisi dari sekitar 100 peserta untuk diseleksi. Meski ini tak serta-merta membuat tugas kami terasa enteng, setidaknya tak membuatnya terasa lebih berat.



Tugas kurator, sebagaimana disampaikan panitia, bukan memilih sekian karya terbaik, melainkan sekian penulis masing-masing dengan sekian karya terbaik. Sepintas tampak sama, namun sesungguhnya implikasinya jauh berbeda. Untuk memilih 50 puisi terbaik kami bisa mengambil 1 hingga 10 judul setiap penyair. Yakni kuota 50 itu bisa kami penuhi dari baik 50 atau 5 peserta. Adapun untuk memilih hanya 10 penyair dengan masing-masing 5 judul, mau tak mau kami harus main hitung-hitungan. Misal dua penyair, A dan B. Dalam pembacaan kami, A menghasilkan 3 karya kuat, sedang B hanya 2 karya. Mudah memutuskan bila kekuatan kelima karya itu terhitung relatif setara. Tapi bagaimana bila 2 milik B dinilai lebih kuat dibanding 3 milik A? Memilih B berarti menyertakan 3 karya lemah, memilih A berarti menyertakan hanya 2.



Kriteria yang lazim digunakan di berbagai lomba cipta puisi, misal kebaruan gaya pengucapan, kepaduan gagasan, hingga hal-hal elementer menyangkut logika kalimat dan teknis penulisan, tentu kami gunakan di proses seleksi peserta festival ini. Namun dengan latar situasi sebagaimana telah kami jelaskan, kami terpaksa menerapkannya tidak secara ketat. Pun mengingat rencana panitia menerbitkan puisi terpilih dalam format buku antologi, kami mempertimbangkan ihwal keragaman, berusaha agar penulis yang lolos satu dengan yang lain memiliki spektrum karya berbeda.



Klasifikasi Peserta



Pengecualian pengarang asal Madura yang tinggal di luar Madura membuat kami tertarik untuk melakukan pemetaan penyair Madura kontemporer berdasarkan biodata yang dikirimkan, dengan harapan bisa menjadi salah satu rujukan penelitian sosiologi sastra, pembuatan kebijakan pengembangan di bidang literasi, dan khususnya acuan pelaksanaan festival serupa di masa mendatang . Berikut hasilnya.



Berdasarkan jenis kelamin:

-          Laki-laki : 71

-          Perempuan : 29

-          Tidak diketahui : 2



Berdasarkan usia:

-          10 sampai 19 tahun: 18

-          20 sampai 29 tahun : 21

-          30 sampai 39 tahun : 7

-          40 tahun ke atas : 2

-          Tidak diungkapkan : 48



Berdasarkan asal daerah:

-          Sumenep : 59

-          Pamekasan : 20

-          Sampang : 9

-          Bangkalan : 2



Berdasarkan latar profesi/pendidikan:

-          Siswa aktif : 12

-          Mahasiswa aktif : 27

-          Santri aktif : 14

-          Aktivis literasi : 12

-          Guru/dosen aktif : 14

-          Lainnya : 23



Menimbang Sikap



Dalam proses pembacaan tahap awal, kami mengusulkan penggunaan kritik biografis dalam kerja kuratorial kami, yakni dengan sedikit atau banyak melibatkan latar kehidupan pengarang dalam penilaian. Penyebabnya adalah karena kami menemukan banyak promising writer, di antaranya masih duduk di bangku Tsanawiyah dan Aliyah, yang kiranya butuh perhatian khusus. Panitia menanggapi kelancangan tersebut dengan meminta kami mengevaluasi karya secara objektif, mengabaikan umur, jenis kelamin, pendidikan, profesi, dan sebagainya. Penolakan demikian di satu sisi membuat pekerjaan kami justru jadi lebih mudah, namun tak bisa kami pungkiri di sisi lain membuat rasa keadilan kami terusik---Bagaimana mungkin menganggap sama orang yang sudah 20 tahun menulis dengan orang yang baru 5 tahun mengecimpunginya?



Namun boleh jadi keputusan panitia itu sudah tepat. Banyak hal tak terduga terjadi di kesusastraan. Banyak pengarang besar tidak pernah mengenyam pendidikan sastra secara resmi. Sebaliknya banyak sarjana sastra gagal menyumbangkan karya dan pemikiran berarti. Dari 70% penyair yang karyanya lekas kami nilai tidak layak, banyak yang merupakan penulis lama. Kami tak tahu kenapa mereka seperti terjebak di level capaian estetis yang bahkan belum bisa dibilang medioker. Adakah karena mereka tak mengimbangi panjangnya proses dengan peningkatan pengetahuan dan militansi dalam eksplorasi dan eksperimen? Sebaliknya banyak penulis baru datang dengan gairah menyala-nyala. Mereka adalah generasi yang hari ini hidup bersama dan bersaing dengan generasi yang lebih tua, dengan latar akses informasi yang sama, menerima kesempatan setara untuk terlibat dalam berbagai kegiatan sastra serta wahana pembinaan dan ekspresi, yang tak ubahnya lahan gembur, menunggu motivasi, kemauan keras, dan komitmen mereka semua, tanpa kecuali. Ya, kiranya cara terbaik untuk lekas mendewasakan seorang anak adalah dengan berhenti memperlakukannya sebagai kanak-kanak, dengan mulai menilai tindakan-tindakan dan hasil kerjanya dengan ukuran orang dewasa.



Evaluasi Karya



Dari 102 peserta yang bersaing, setidaknya 30 nama betul-betul kami pertimbangkan. 5 di antaranya dengan mudah kami tentukan keunggulannya. Ini karena, tidak seperti yang lain, mereka mampu menjaga kadar capaian estetis dalam puisi mereka. Dengan kata lain, tidak sulit menemukan 5 judul yang layak dari 10 judul yang mereka kirimkan. Adapun untuk menambahkan 5 nama lagi demi memenuhi kuota, kami menghabiskan lebih banyak waktu untuk menimbang, agar meloloskan sesedikit mungkin karya lemah. Akhirnya, dengan menekan sedikit rasa tak puas, 10 nama bisa kami sodorkan dan dinyatakan diterima..


Membaca 50 puisi terpilih di buku ini seperti memasuki 10 bentang alam berbeda, masing-masing minta diresapi dengan caranya sendiri. A. Warits Rovi adalah seorang pengamat yang waskita dan berkemampuan baik dalam mengontrol keterlibatan dirinya dengan lingkungannya. Tentu saja puisi-puisinya mengandung kerja penafsiran, ada makna-makna kontemplatif tertentu ingin disampaikan, namun seperti pertunjukan musik klasik tak berlirik, puisi-puisi Warits memberi pembaca tempat nyaman untuk melakukan apa yang ingin dilakukan: menikmati saja permainan bunyinya atau sembari menikmati itu menyelami berbagai kemungkinan maknanya.



Tak begitu jauh dari Warits, Ebi Langkung merupakan penjelmaan santri yang rendah hati dan abid yang menjaga adab. Kesadarannya diarahkan selalu pada penemuan jalan menuju penyucian diri. Semesta membentang di hadapannya tampak tak henti menawarkan kebijakan sufi. Jika Warits berdiri di ketinggian dan kedekatan tertentu dari objek-objek amatannya, maka Ebi adalah musafir yang terus berjalan dan terus menemukan hal-hal menakjubkan. Jika objek dalam puisi Warits seolah tak menyadari kehadiran Warits sang pengamat, maka objek dalam puisi Ebi aktif mengajaknya bicara dan bahkan tak segan menawarkan sesuatu dan karenanya lebih tepat disebut subjek yang lain.



Dibanding semua penyair yang lolos, Faidi Rizal Alief adalah yang paling setia pada persajakan. Dengan disiplin tinggi ia menjaga rima akhir di tiap bait puisinya. Meski karenanya terkadang kita merasakan kesan kaku dan kuno, namun Faidi kami pikir bukan termasuk juru masak yang suka mengada-ada demi suatu pemanis hidangan. Setiap kata di ujung baris dipastikannya relevan dengan gagasan utama dan berfungsi menjaga keutuhan makna puisi, seperti halnya garnish pada sebuah menu yang tidak sekadar membuat hidangan menjadi menggugah selera, tapi memang betul-betul bisa dinikmati dan bergizi. Adapun pada segi isi, Faidi tampil sebagai tokoh kuat, pengayom dan penyelamat. Sikapnya tegas dan berani menanggung konsekuensi. Ia tak tampil low profile sebagaimana Warits dan Ebi, namun juga dapat menjaga diri dari jatuh ke dalam keangkuhan. Ia adalah tipe kekasih yang lebih suka menyatakan cinta dengan tindakan nyata dibanding kata-kata manis.



Seperti Faidi, Hidayat Raharja juga menyatakan suatu kesetiaan yang tak main-main. Bukan pada bentuk, melainkan pada wacana. Istilah-istilah dalam ilmu biologi, bidang profesinya, dipinjam dan digunakannya lebih daripada fungsi teknisnya. Istilah-istilah itu pada satu kesempatan dipakai untuk menyokong sebuah gagasan, sedang pada kesempatan lain menjadi gagasan tersendiri yang didedahkan dengan indah. Apa yang dilakukan Hidayat terakhir ini mirip kiranya dengan yang dilakukan para ahli tata bahasa Arab ketika memperlakukan gejala linguistik sebagai simbol filosofis.



Tentu muncul pertanyaan di benak pembaca: Apakah tidak ada yang berusaha mengangkat Madura dalam puisi-puisinya? Kami jawab: Ada. Cukup banyak. Bahkan kami menemukan beberapa puisi yang sepenuhnya dalam bahasa Madura. Namun secara umum kami menilai usaha untuk menghadirkan kemaduraan tersebut belum diimbangi dengan perspektif yang segar dan teknik komposisi yang memadai. Ia lebih sering jatuh ke dalam klise dan arak-arakan kosakata bahasa Madura. Bagaimanapun dalam buku ini dua penyair, kebetulan sama-sama perempuan, menunjukkan usaha yang patut dicatat.



Di satu spektrum, Ibna Asnawi tampak menghayati lingkungan dan peristiwa keseharian di Madura dan merepresentasikannya dalam puisi-puisi pendek yang segera mengingatkan kita pada puisi imajis dan Haiku. Ibna tidak mengulik hal-hal yang langsung menautkan ingatan pembaca pada kemaduraan, misal karapan dan carok. Citraan yang ia hadirkan di antaranya adalah pilar bambu, lahan, dan langgar. Sesuatu yang terbilang tak eksotis, banyak ditemukan di luar Madura, namun sebenarnya sangat Madura. Puisi panjangnya, Taneyan Lanjang, kiranya bisa disejajarkan dengan puisi-puisi Hidayat Raharja, merupakan pemaknaan ulang atas simbol-simbol tradisional.


Ina Herdiyana, di spektrum lain, memberikan berbagai kesaksian atas fenomena alam dan budaya. Puisi-puisinya sering terasa sebagai ode, jenis yang banyak kami temui di perpuisian Madura. Yang membedakan adalah bahwa seperti halnya Ibna, perhatian Ina tak terpaku pada hal-hal yang sudah menjadi ikon Madura sejak dulukala. Ia memperkenalkan hal-hal yang relatif baru. Adapun perbedaan menonjol antara dua penyair perempuan ini adalah bahwa Ibna lebih menyajikan kompleks emosional dan intelektual, sementara Ina menyuguhkan hasil observasi yang diurapi keharuan.



Hasil pembacaan atas karya empat peserta yang lain, oleh sebab terbatasnya ruang dan waktu, terpaksa tak bisa kami hadirkan di catatan ini. Oleh sebab yang sama pula hasil pembacaan hampir seluruhnya hanya berupa kesimpulan, tanpa contoh. Untuk itu kami mohon maaf dari lubuk hati terdalam. Besar harapan festival ini dapat secara berkala diselenggarakan, dengan perbaikan di setiap penyelenggaraannya. Terima kasih atas kepercayaan panitia dan selamat bagi peserta terpilih.



Senin, 25 November 2019



EDY FIRMANSYAH

MALKAN JUNAIDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib