Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Sumber: Harian Nasional. Karya: Widi S Martodihardjo



Di Vredeburg

Aku telah kehilangan Tuhan, dan diriku sendiri.
Jangan buat aku lebih cemas dari ini.
Aku tak ingin kehilanganmu, seperti aku
kehilangan segala-galanya.
 
Aku ingin suaramu tetap menggema,
seperti segala-galanya menggema
dalam dadaku. Aku ingin suara cintaku
lebih panjang dari biasanya.
 
Aku akan mencatatnya dengan teliti,
kisah cinta yang lebih dingin dari angin
yang tak santun, menelusup pelan,
dan beruntun.
 
Pada jalan ini, aku akan lebih lama
mendengarkan langkah kakimu yang sendu,
mendengarkan ocehanmu tentang hal-hal,
tidak penting: suaramu adalah segala-galanya,
seperti segala-galanya adalah suaramu.
 
Berbicara kemiskinan, ketimpangan sosial
yang mencekik leher ibumu.
 
Aku ingin mendengarkan suaramu lebih lama,
dari langkah kakimu yang makin mengecil di trotoar.
Aku ingin suaramu tetap menggema dalam kata-kataku,
dalam irama semesta, dalam sabda yang sulit diterka.
 
 
Cantrik, 2019
 

Pada Serat Nama Mungilmu
 
Pada serat nama mungilmu yang jenaka
kitab suci agama tua di dunia,
menggema dalam namamu.
 
Selain pada namamu,
aku ingin berenang pada polos alismu,
pada setiap rekah senyuman merahmu
yang menggetarkan dada.
 
Aku mengamati setiap kedipan
matamu yang memancarkan kehidupan
esok dan lusa. Aku menghirup udara sungai
di hutan kata-kata manismu.
 
Bahwa setiap gerak-gerikmu
adalah bahasa Tuhan yang anggun.
Dan aku hanya sanggup tertegun.
 
Aku tak hendak ingin mengatakan
bahwa aku telah jatuh cinta, atau
berpura-pura untuk tidak jatuh cinta.
 
Jika kebahagiaan itu ada
Tuhan telah meringkus kebahagiaan
dari bibir pucatku yang ungu.
 
Di hadapanmu, bahasa kehilangan mantra,
dunia sedang cemas,
dan demonstrasi besar-besaran
sedang terjadi dalam diriku:
 
Bahwa aku tak sanggup
mengendalikan diriku sendiri.
 
Weda, Weda, Weda,—
Kenapa Tuhan tidak mengetuk hatimu
untuk sekedar mendengar ketukan dadaku
yang makin renta?
 
Cantrik, 2019
 

Di Titik Nol Paling Ramai
 
Aku tidak ingin membiarkanmu
berjalan sendirian malam hari.
Di tengah orang-orang yang sibuk
memotret kekasihnya di trotoar,
di titik nol paling ramai.
 
Aku tidak ingin jauh dari derap langkah
Kakimu yang pelan, membelah keramaian.
 
Aku ingin menghabiskan malam denganmu,
mengelilingi museum Vredeburg,
Jalan Malioboro, dan Taman Baca,
hanya berdua saja.
 
Aku ingin duduk di bangku
yang selalu tampak ramai itu,
tapi kau, sepertinya tidak suka
keramaian.
 
Sunyi adalah arus lalu lintas
yang setia bekerja pada matamu.
Dan aku bahagia kau mencintai
kesunyian lebih dari kebanyakan
orang-orang di tengah keramaian
yang berkerumun sepanjang malam.
 
Cantrik, 2019
 

Kolombo Malam Hari
 
Matamu yang teduh,
membuatku melupakan kata aduh
pada hari-hariku yang gaduh.
 
Mari, duduklah cintaku,
seperti malam-malam sebelumnya.
Aku akan mendengarkan seluruh
keluh kisahmu yang paling sedih sekali pun.
 
Suaramu menggema, lebih lembut dari
desir angin di beranda, atau angin pematang
yang memukau di kejauhan.
 
“Aku berbekal kesedihan,
kemiskinan yang mencekik keluargaku,
membuatku tumbuh
seperti batang pohon kokoh
puluhan tahun lalu,” katamu.
 
Oh, manisku, tak ada gerimis yang hendak jatuh
kecuali air mataku yang hendak tumpah.
 
Jangan bersedih, jangan bersedih cintaku,
andai yang kauminta ada padaku,
akan kuberikan apa yang kau minta di dunia ini.
 
Aku tak kalah bersedih karena mencintaimu
dengan diam-diam tidak cukup membuat dunia
ikut berbangga.
 
Cukuplah aku menjelma telinga yang selalu terbuka,
penyampai lidah, dan perih pedihmu yang berpeluh.
Semoga esok dan lusa, Tuhan ada untuk kita, untuk kita berdua.
 
Cantrik, 2019
 

Sebelum Semuanya Kembali Seperti Semula
 
/I/
Aku tegaskan pada diriku sendiri:
Tuhan yang baik, aku telah temukan cintaku.
Tolong jangan buat ia menjauh barang selangkah,
seperti perahu-perahu itu singgah
dan menjauh meninggalkan lenguh.
 
Aku masih ingin lebih lama menatap
rekah matanya yang haus pengetahuan,
aku masih ingin lebih lama melihat
bibir merahnya meninggalkan dentuman
dahsyat di dadaku.
 
/II/
Tuhan yang baik, sebelum semuanya
kembali seperti semula, aku ingin mengajaknya
sekadar bercanda, atau menertawakan
hal-hal remeh dan tidak berguna.
 
Atau sihirlah ia, dengan tangan gaibmu yang lihai
menghidupkan putik bunga-bunga pagi.
Buat ia mencintaiku, sebagaimana aku mencintai
bulu alisnya yang rapi.
 
/III/
Tuhan yang baik, sihirlah ia,
agar penderitaan hidup, tidak melukai mata bulatnya
yang tampak seperti bulan penuh,
dan menentramkan setiap laki-laki
yang menatapnya.
 
Tuhan yang baik, kabulkanlah doa malamku.
 
Basabasi, 2019
 

Museum Kenangan
 
Vredeburg adalah museum kenangan,
bagaimana senyumanmu menjelma
patung-patung, penemuan di bawah laut,
berupa keping logam, meriam The Forbes,
jangkar, dan lonceng kapal.
 
Cantrik 2019
 
 

Pasar Colombo
 
/I/
Kau memotong-motong dagingku
memberi harga pada setiap sayatan pisaumu.
 
Tak ada yang tak berguna,
daging, tulang dan kulit wajahku menjadi dunia
bagi senyumanmu esok pagi.
 
Kau mengulang-ulang hari
dengan cara sama, dengan ketukan yang sama.
 
Esok pagi, seseorang ada datang kepadamu
membawa harapan yang sama,
dan kau sedikit akan berbincang,
 
lalu melakukan hal sama:
memotong dadingku dengan gembira.
 
Cantrik 2019
 

 Sonita Cinta untuk Mifta
 
/I/
Seperti pohonan dan daun-daun yang tumbuh di air,
barangkali, begitulah cintaku, kau air yang mendinginkan
akar-akarku yang lentur dan menjalar.
 
Aku hidup dalam kurungan, dalam bingkai botol kecil,
dan menggetarkan. Kapan saja, aku bisa mati,
jika matahari lebih terik dari biasanya, atau bahkan jika
airmu tiba-tiba lebih kuat dari getaran terik yang kuat.
 
Aku tak bisa berbuat apa-apa dengan keterbatasanku akarku.
Aku tumbuh dengan begitu lambat, “Bagiku, dunia ini
adalah ancaman. Tak ada yang gila dari dunia ini.”
 
Bahkan jika ada seseorang yang berbaik hati,
sekali-kali menyirami daun-daun pada tubuhku,
aku sedikit beripikir, ternyata kebaikan masih berlaku.
 
Cantrik, 2019.
 

Di Mangunan
 
Mungkin hanya di Mangunan,
pohon-pohon tampak seperti bukan hutan.
 
Jalan setapak yang angun,
barangkali seperti derap kakimu yang santun.
 
Kita mendaki, dan berharap sampai diketinggian
dan matamu menyapu awan yang ngungun
 
di selatan, di kejauhan.
Mulut kita terkunci, tak ada mesti dipercakapkan.
 
Dan angin yang tak begitu rimbun
mengetuk-ngetuk celah kayu
 
tempat persinggahan kita
dan memulai kisah cinta kita yang rabun.
 
Mungkin pada mulanya adalah tertegun,
kemudian pertemuan yang tidak direncanakan
 
lengkap dengan ransel persisahan yang tidak
diinginkan.
 
“Tak ada kedamaian macam begini,” katamu.
 
“Kelak ketika kita dipertemukan kembali,
aku ingin mengajakmu ke tempat ini.”
 
Kutub, 2019
 

Saifa Abidillah, alumnus Studi Agama-Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beberapa tulisannya pernah dipublikasikan di media lokal dan nasional. Dan beberapa bunga rampai, Bersepeda ke Bulan (IndoPos, 2014), Nun (IndoPos, 2015), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid III (2015), Negeri Laut (2015), Negeri Awan (2016), Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016), Pasic Karam (2016). Antologi puisi tunggalnya adalah, Pada Sayap Kuda Terbang (Cantrik, 2017).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib