Perancang sampul: Sabiq Gidafian Hafidz. |
PEMBISIK MUSIM
setelah langit pudar dengan jejak
pulang yang kulewati
membekas tanda dalam gurat
telapak yang lamat-lenyap
gemuruh musim masih menantimu
sebagai peladang ulung
yang melukis nasib ribuan bibit
dari mimpi sunyi. kucium
nafas dan rahasia birahi yang
mengaburkan angin
pada pucuk bebunga berkisar kawin
di ujung waktu.
seperti mimpi
kita yang riuh, menangkap musim
dalam mamaca
sesak di ujung lidah yang mengiris malam
tanpa jerit
mengepak dengan sayap obur ke dasar ladang
dalam sesungkup pijak, tak ada
alamat retak pada daun jatuh
menanti semi yang jauh-sebentang
jarak dirimu mengukur bumi
jejak hujan di tubuh telah lesap
dan kering tak bersisa alir
hingga peladang pulang, nelayan
kembali, menjeritkan impian
di malam hari. ribuan tangan
merobek langit gelap
memintal segenap permohonan
curah.
buka matamu pak,
usai sudah kita meladang, terkubur dengan
tangan hampa.
aku ingin panen! di padang-padang ini, meski
hanya dengan
lahan doa.
sampai hujan kembali turun,
ladang-ladang subur di hatimu
dan engkau menembang lagi ujung
tabun ke hari tiada tepi
sampai langit yang pudar segala
bunyi kembali retak oleh bisik
nasib malangku-malangmu, di sini.
Telenteyan,
2012
TELENTEYAN
-dalam sketsa
kau lukis hamparan padang kering
dirundung tanah sepi-kelahiranku
yang amis membasahimu-sampai
menyala mata Soksok di kuning jemari
memilih mimpi melebihi matahari.
sebelum jujuk tanam mataair—
nyior-nyior lembah membentuk
pemandangan luas tempat bakal kau cipta
rahasia. debu-debu dihanyut
angin, dilari burung. belukar-belukar
mengais, menari, bagai rumput
yang menghampar adat tersulam.
dengan mata terang, tanah dengan
kebun-kebun kelapa yang merunduk
di pikul bahunya, kau tidur
mengabadi lambai Poles diulur jauh pijak
yang meninggi atas hujah dari
segala yang terlukis silam. entah, mereka
seperti rupa-rupa bisu mencuat
penuh ritmis di tiap dataran, sesekali tempias suling
dan tembang terus berpanen agar
aku lahir pada tanah tempat leluhur berkuasa
Telenteyan! nun jauh sangsai,
kuceritakan muasal darah kawasan ini padamu
agar cinta tak paling sejak kapan
kita lahir, datanglah lagi!
bak petuah lama, selagi peristiwa
masih bersarang dan sembunyi dalam tubuh
kau pukul beduk kampung mengaku
kembali sepucuk Gindaga, jujuk kami!
tentang ambisi apa yang merebus
periangan agar aku dibiarkan sendiri.
Saladi, Garincang, Poles,
berkepundan dan masih kasat, berdiri bagai penimba
di dalamnya aku dendang cerita
kanak-kanak, kakek-nenek dari layar suku
yang berdandan alit sambil
melambai meltas menjhâlin—suatu kelak kau bakal
jadi pengarang yang mulia, para
penenang rahasia, pemandang sejati!
doa dan mantra kembali bersurai
menjadi retakan-retakan rebana, seakan-akan
kaki langit masih sejajar dengan
hasrat dan mimpi, bumi dan hati beraduk
sebagai tanah tak
terpisahkan—tempat kau hikmat meniup nafas, meniti agung
tanah yang tak pernah sangsi bela
bagi langkah-langkah masa seperihal damba
sampai kita lahir, hamparan
padang kembali terang, kebun dan sawah bermakna
bagi panorama semesta yang
tersemayam tenang ke pijaran lalang
pada darah yang terus
mengalir—kini kau perhatikan, telah mewarisi segalanya.
Eyang, Eyang! serta bibir yang
terus bertanya, biografi apa yang
kau sisip, antara duka dan
bahagia. kini, tubuhku telah berdiri, muji seagung kambang
mengindung sila adat dari ragam
rupa dan asal-sembari mengingatmu dalam catur
dalam nyanyian ibu, yang hanya
menyerupa besulur Lèntè dan benih mataair
menjelma nama tanah yang mengeras
dan bertahta dalam mimpi.
Longos, 2008
KIDUNG PADANG
ARA
-Epak, dan
kisah
Orang-Orang
Gunung Bintang
1
kau membuatiku perahu dengan
dayung jati
dengan segambar selat serupa
bulan celurit cantik
melilit separuh batang tubuhku
yang perkasa
siap mengiring cerlang langit ke
batas sagara
bulan rekah bertaut sendiri,
berputar kembali.
sejenak aku membayangkan engkau
berbidik
bambu dan menanak buluh rebung di
hilir kampung
moyang di Pinangan ketika cahaya
masih menyemai
tangan kita sebagai perajut Pundu
di balik tikar
menulisi jazirah pertiwi
seluas-luasnya
“ engkau bisa menjadi penjaga
muara atau peramal
kecil
bintang segera jatuh! “
2
dan pandangmu pun selalu menyapu
rambutku
yang hijaukuning di tiap dataran,
di hujan abu dan panas
di mana aku pernah belajar
mengikati burung, tankotan,
selesai perjalananmu paling
panjang
jadi perantau atau lajang di
tanah kelahiran.
ketika seorang wiro mengisahkan
segala sesuatu
sengarai sukumu, aku seperti
mengintip ibu kota
yang kian basah itu-serupa
hamparan luas cahaya
logam-logam dan tambang mutiara-di
mana mereka diajar
berlayar ke tasik, bepergian
dengan kata-kata
bahasa
bertani dan mengolah dayung ke samudra.
3
nasib telah memegang kendali,
serumpun tanah lapang
yang kini berjajar lagi-kita yang
terbiasa melihat-lihat langit
tiang-tiang Merah Putih, antara
Camar Bulan-Teluk Melano
di antara siul dan layar televisi
sering membayangkan peristiwa
dalam angan.
meski selamanya engkau menekuri
ukir dan bidik
kursi dan meja kayu jati, juga
bangku dan balai tidur
yang setiap saat teriris masa
silam-jauh sebelum aku
layar
perahu. enyah hidupmu ke rawa pedalaman.
4.
di mana dahulu kita ladangi mimpi
di amper gubuk
tanpa pelangi-beratus musim tak
terselesaikan belajar
menasik, bertanya dan bercakap
tentang pelayar, peladang
bertempat tinggal dan raib
dijatuhi daun-daun kenanga.
di sawah, di ladang-ladang yang
mereka bajaki-hidup tanah
bersama gerimis, kita yang kusuk
dan terusir jatuh
dari tangkai-tangkainya, di mana
kau tebar bijian padi
menjadi bidingan kresek dan
potong leher sepanjang urat tangan
yang selalu dirakit untuk belajar
mandiri.
entah, kini tanah seperti kembali
tenggelam-pada ritmis suaramu
yang mengidung di batas
labuh-perahuku yang jauh ke ufuk
sangsai jua dia lautmu, yang kau
kalungkan dileherku dulu
sebagai batas dari rupa dan tutur
kapal-kapal berlayar
di riak selat dan lirih suling
yang berkeping-keping
menjadi tanah kelahiran tak
bertepi.
Madura, 2010
A’yat Khalili, dilahirkan di
Kampung Telenteyan, Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, 10 Juli
1990. Menyelesaikan pendidikan dasar di MI Taufiqurrahman-Longos (1997-2003),
SMP Yayasan Abdullah (YAS’A) Pangarangan (2004-2006), MA 1 Annuqayah, Guluk- Guluk
(2006-2009), INSTIKA (2010-2014). Mulai belajar menulis sejak pindah sekolah ke
kota (SMP Yayasan Abdullah, 2005)—bergiat sebagai ilustrator di Debat-Tulis (2005-2006),
dan mulai publikasi sejak di PP. Annuqayah Latee (sejak 2006) sebagai penggerak
komunitas Rumah Sastra Bersama (RSB) dan Bengkel Puisi Annuqayah (BPA).
Karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, esai, artikel dan ulasan—pernah
tersebar di pelbagai media lokal dan nasional, juga banyak mendapat
penghargaan, antara lain; dari Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional
(PBDepdiknas, Jakarta, 2006) dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra 2006
sekaligus Hari Sumpah Pemuda ke- 78 sebagai pemenang ke-2 Sayembara Cipta Puisi
Tingkat Remaja (13-22 tahun) Nasional 2006; Taman Budaya Jawa Timur (TBJT,
Surabaya, 2006) sebagai pemenang pertama Lomba Menulis Puisi Tingkat Jawa Timur
2006; menerima Anugerah Piala Walikota Surabaya sebagai pemenang pertama LMP
Tingkat Jawa Timur oleh Teater Kedok SMAN 6 Surabaya (KedokBookS, 2007); juara
terbaik ke-2 Lomba Cipta Puisi Religius Tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2010
oleh Dewan Ekskutif Mahasiswa (Dema) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Purwokerto 2010; finalis Lomba Cipta Puisi Pariwisata Tingkat Umum Nasional
bertajuk “Batu Bedil Award 2010” dalam rangka Festival Teluk Semaka
(FTS) 2010 dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Kabupaten Tanggamus,
Provinsi Lampung 2010; pemenang pertama The Spirit For Indonesia 2011;
pemenang ke-3 LMCP “Menuju Palestina Merdeka; Sumbangsih Dari
Indonesia“-FLP-KAZI Depok, Oktober 2011; juara ke-3 (2 kali) Lomba Menulis
Esai “Indonesia Hari Esok” dan “Mengindahkan Pendidikan Karakter Indonesia”
Tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2010 oleh Dewan Ekskutif Mahasiswa (Dema) Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto 2012 & 2013; finalis LMCP
Tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2012-UKM Belistra FKIP UNTIRTA (Serang-Banten
2012); finalis Lomba Karya Tulis Anti Korupsi Tingkat Mahasiswa Nasional
2012—Universitas Negeri Surabaya–Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Indonesia
Menulis-Fakultas Hukum Universitas Airlangga; 7 finalis LCP
Tingkat Umum Nasional 2012, yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
bekerjasama dengan NulisBuku.Com & Plot Point 2012; salah satu dari 10
penerima Penghargaan Asia Tenggara dalam Anugerah Puisi Dunia Nusantara Melayu
Raya (NUMERA) dari Persatuan Sastrawan Numera Malaysia 2014, dll. Dan
sebagian lain karyanya juga termaktub dalam beberapa antologi; Puisi Menolak
Lupa (Unggun Reliji, 2010), Kaliopak Menari (Matapena, 2008), Sebab
Akulah Kata (kedokbooks, 2007), Pukau Kampung Semaka (DKLampung,
2010), Munajat Sesayat Doa (LeotikaPrio, 2010 ), Dalam Estuari Sastra
(inzpirasi, 2011), Festival Bulan Purnama Majapahit Triwulan 2010
(Majapahit, 2010), SINAR SIDDIQ 6: Sempena Mahrajan
Persuratan dan Kesenian Islam Nusantara 2012 ( Sabah-Malaysia,
2012), Epitaf Arau (2012), Narasi Tembuni (KSI, 2012), Nanyian
Kesetiaan (obsesipress, 2012), Indonesia Hari Esok (obsesipress,
2012), Sorgofagus (balistra, 2012), Dari Sragen Memandang
Indonesia (2012), Sauk Seloko (PPN VI—DKJambi, 2012), Negeri
Abal-abal (KKK, 2013), Dialog Taneyan Lanjhang (2013), Lelaki
yang Dibeli (obsesipress, 2011), Pendidikan Karakter; Wacana dan Kepengaturan
(2013), Cinta dan Sungai-Sungai Kecil Sepanjang Usia (Grafindo,
2013), Puisi Menolak Korupsi 2a (2013), Ibu Nusantara, Ayah Semesta (Gramedia
Pustaka Utama, 2013), Tifa Nusantara (2014), dll. Pernah diundang baca puisi Radio Republik Indonesia (RRI
Sumenep, 2007-2008); Liburan Sastra Pesantren—Berlibur,
Berkarya, Bersastra (BBB)—Penerbit Matapena-LKiS (BBB, 2008); mengikuti Temu Sastrawan Melayu Raya (NUMERA) ke-1 (Padang, Sumatera Barat 2012); menghadiri Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) ke-6
(Jambi, Desember 2012); undangan Sempena
Mahrajan Persuratan dan Kesenian Islam
Nusantara ( Sabah, Malaysia, Januari
2012); Temu Karya Sastrawan
Nusantara (DKKT&DisporaBudpar,
Tangerang, Desember 2013); Pemerhati
Pertemuan Baca Puisi Dunia Numera (Kuala Lumpur, Malaysia, 21-24 Maret 2014), dll. Ia salah seorang
penggubah komunitas Rumah Sastra
Bersama (RSB, 2006-2010), penggerak Bengkel Puisi Annuqayah (BPA, 2007-2009), pewarta Harian Online Kabar
Indonesia (HOKI), dan pendiri Pusat
Buku & Dokumentasi Roma Maca (Rumah Baca).
Saat ini menetap di kota kelahirannya, Sumenep-Madura. Email: khalili.telentean.longos@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar