Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

Masjid Agung Sumenep Tempo Dulu/Ilustrasi

RAEDU BASHA, Penyair Kelahiran Sumenep, 3 Juni 1988. Buku-buku puisinya, Hadrah Kiai (2017), Matapangara (2014), Hadrah Nyai (2022) dan buku-buku etnografi, Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren (2020) serta Ya’ahowu: Etnografi tentang Nias (2018). Saat ini mengabdi ketua yayasan di Pondok Pesantren Darussalam Billapora, Sumenep, Madura. Berikut beberapa puisi karyanya yang tayang di Jawa Pos, Jawa Pos, 2 Mei 2021

 

Di Teras Masjid Sothok

kepada aba

 

yang pernah ada di sini tetap menancap di hati

aku jauh, jauh sekali, tapi sebenarnya tak pergi

tak ke mana, sebagai bumi kepada matahari

tetap duduk denganmu di masjid ini

berdua kaki bersila, badan membungkuk

menghadap utara

menyaksikan sawah di depan hidung

menyaksikan akhirat di dalam relung

kudengar abjad jatuh dari remahan zaman

dari perasan seribu lantun dalail dan ajian

kau lafalkan dengan rasa dingin

udara bertiup, huruf kuhirup

 

”sulungku, jangan pernah pergi

kecuali untuk mewujudkan mimpi

aku wariskan kepadamu

sujud-sujudku, juga sebuah badai”

 

kebersamaan kita ingatan

kehidupan kita melukis bayangan

kuas meliuk menarikannya

seribu warna memori

pada kanvas angan-angan

yang kesunyiannya abadi

yang kesepiannya purba

 

Ganding Pustaka, 2021

 

Sebatang Rumput di Tanganmu Sunan Bonang

 

kepada sebatang rumput yang kau hentikan tumbuh

yang tanpa sengaja tanganmu mencabut liar helai-helainya

hingga akar berpisah dengan tanah,

kau menangis, kau bersedih, kau merasa

dosa demikian perih ditanggung dada.

seribu istigfar kau hela pada tiap helainya

apalagi kepada batang-batang

kepada cabang-cabang

kepada pohon-pohon

bila tanganmu berjemari lalim:

sebatang ranting yang jatuh

hati menanggung tengkujuh.

secabang yang ditumbang

kembang api neraka tak kempis rembang.

sebuah pohon ditebang, seharga jiwa

anak cucu, asa, dan margasatwa melayang

tak ada lagi cara nyenyak dalam sejuk dunia

dengan nyanyi, lelaku, dan doa

di antara amin bunga-bunga yang bermekar

amin akar-akar yang menjalar

amin daun-daun yang segar,

berayunan, menarikan permohonan pohon

dengan semerbaknya, menggerakkan sujud

dengan wangiannya, mengendapkan

khusyuk dengan hantaran oksigennya

o, kepada sebatang rumput yang kau

hentikan tumbuh, yang kau cerabut

tak sengaja, rupanya masih saja ego kami

tak pernah bertanya, apakah bumi

sebenarnya butuh kepada manusia?

 

Ganding Pustaka, 2021

 

Surat kepada Diri

 

mata boleh terbuka kendati lelap dalam tidur

kata-kata boleh berlepasan tanpa batasan

asalkan masih tertahan di dalam benak

kau boleh jatuh cinta untuk kedua kali

bahkan keseribu kali, tetapi masih kepada kekasih

yang setia menemanimu semata

berkenalan dengan diri sendiri

ternyata lebih susah ketimbang

melakukan pendekatan dengan orang asing

terlalu lama sebagai diri

lama sekali bukan sebagai diri

lalu harus berjumpa lagi dengan diri sendiri

seperti karib yang lama tak bercengkerama

ternyata bukan hal yang mudah

terlebih saat diri telah berubah bentuk

entah semakin keras atau lunak

menuju dewasa atau kembali kanak

tak ada bahasa yang lebih mewakili

selain getar bibir dan mata merah

yang kadang berlinang-linang

kaki boleh mengentakkan langkah

sejauh ujung daratan. tangan bisa

menjangkau apa pun yang menjadi hasrat

untuk diraih. namun bila jiwa lama abai

dan tersungkur di tepi risau, sesungguhnya

tujuanmu masih jauh

mata boleh terpejam, tetapi sedianya

tak pernah berhenti memandang diri sendiri

demikianlah surat ini kutulis

untuk diriku sendiri yang sekian lama

kurindukan.

 

Ganding Pustaka, 2020

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib