Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Sumber gambar: g/ opinikoe.com

SI TULI ABAD TEKNOLOGI

engkau terhempas ke lembah
lembah penyair dan mistikus
menjelma si tuli yang tak mengerti
bahasa manusia abad ini

bersyukurlah engkau
tak mendengar suara bising
pertempuran rudal negeri
berebut energy fosil

kuharap kau juga bisu
yang hanya bicara lewat batin
ke batin orang-orang desa

yang dicatut nama dan haknya
atas nama kemakmuran
atas nama perdamaian dunia

Jakarta, 2018-2020

DI JENDELA KERETA

aku melihat bayangan diriku
diam sekaligus berjalan 
menuju ke mana kereta tiba

aku tersenyum
bayangan di jendela tersenyum
siapa yang tersenyum?

di luar jendela
aku melihat kehidupan
dalam taburan lampu-lampu

di dalam diri
aku menemukan diriku
sibuk mencari tiada henti

"apa yang kau cari?" 
keheningan bertanya

"hidup!" jawabku.

aku melihat bayangan diri
terantuk berpangku dagu
menunggu kereta tiba

2019

SEYUM GETIR

demi tubuh-tubuh ringkih dan fakir
engkau menyusun siasat
menuju sebuah akhir dari keadaan
genting yang kau cipta
lalu kau membangun monumen sepi
di muara sungai penuh janji
yang diingkari

atas nama kesengsaraan, kemiskinan
dan wabah pengangguran yang kau obati
dengan tenaga kerja impor
kau bersikukuh mencapai bentuk murni
:wujud lain ambisi pribadi dan koloni

atas nama kesenjangan serta ketegangan
aku nyatakan kesangsian pada kerja
para pembatu negeri, butakah aku
atau begitulah adanya?

kini, aku mengerti betapa sukarnya
membangun negeri
tanpa mendirikan rumah nurani
hingga kau bersembunyi
ke balik panggung industri, infrastruktur,
berita teror, iklan yang panjang
dan senyum getirmu sendiri

Jakarta, 2018-2020

TANPA PERLU BERONTAK

nyaris kita terkapar di negeri sendiri
oleh kekar kaki-kaki tipu daya
teror demi teror pecah di depan mata
wajah kelaparan yang ditampar keadaan

benarlah hidup adalah usaha
misal pembelah kayu atau pemecah batu
sepanjang matahari memanggang badan
atau hujan memeluk tubuh mereka

kerja keras lunas tanpa keluh
pada peluh yang berdoa
dalam zikir belahan kayu, batu-batu dan palu

jangan kita terkapar di negeri sendiri
oleh kekar kaki-kaki tipu daya
biarlah teror demi teror pecah di depan mata

tapi kita mesti mengolah tanah
tanpa perlu berontak

Jakarta, 2018/2020

NYANYIAN RUMAH TANGGA

kususun belahan-belahan kayu alam
untuk gubuk istirah sepanjang usia
tempat berlindung dari pancaroba dunia
dari perubahan iklim yang memangsa

kukupumpulkan ranting-dahan kering
untuk api unggun di malam-malam beku
:tabiat segala musim di kaki gunung slamet

kugali dada ini menjadi kolam
penampung mata air kehidupan
pengekar pohon daya cintaku padamu
seperti alir sungai itu yang menyuburkan
sayur-mayur di lahan para petani

kukubur tabiat pecintaku yang sialan
dengan lahar dingin di lubuk gunung slamet
hingga kita berdamai dengan hukum alam
sembari bernyanyi di tepi sungai
saat petani merayakan panen raya

wahai teman hidup dan matiku
semesra gunung slamet menciumi cakrawala
kupeluk engkau sehangat jiwamu mendekap jiwaku

dengarlah bisik batinku
jalan menuju rumahmu
penuh tanjakan menikung
berpagar pohon-pohon waktu
bernama kenangan dan masa lalu

kupahat keyakinan ini di batu jiwamu:
atas restu ayah bunda, tuhan, dan semesta
kita menyatu dalam ketentraman
di lereng gunung slamet

wahai istri, mari kita bersepakat
untuk tidak berpisah sepanjang usia

Jakarta, Septemper 2019

PEMBERANGKATAN

bagi perindu, perjalanan semata pengabadian
perintang hanyalah gejala kemesraan
langit gelap sore itu misalnya, lenyap seketika
saat lidahmu menjulur menyentuh cakrawala

“aku berangkat ke stasiun lempuyangan
ini perjalanan jauh untuk lebih dekat denganmu”
seperti halnya sang perindu, ia berbisik dan
“sepanjang perjalanan kereta, jiwaku memelukmu –

panca inderaku bersumber dari kekuatan energi cintamu
dalam duduk tergetar roda besi, tak lagi kucemaskan
sebab kecupmu, pendiam tubuhku sampai pucuk semadi”

dari pulau terluar Indonesia, bagian timur,
sang kekasih berucap, “pulangku selalu padamu,
lautan dan pulau ternyata hanya menyimpan namamu
di helai enau dan jejak manis bibirmu – terurai dalam gula sabu”

2015-2020

______________________________________

Selendang Sulaiman, kelahiran Sumenep, 18 Oktober 1989. Puisi-puisinya tersiar diberbagai media massa seperti; Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Indopos, Minggu Pagi, Riau Pos, Merapi, Padang Ekspres, Lampung Post, Radar Surabaya, Rakyat Sumbar, Rakyat Sultra, dll. Antologi Puisi bersamanya; 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram (MP 2011), Ayat-ayat Selat Sekat (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), Bersepeda Ke Bulan (HariPuisi IndoPos, 2014), Bendera Putih untuk Tuhan (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), Yang Tampil Beda Setelah hairil (Haripuisi 2016) dlsb. Antologi Puisi Tunggalnya, Omerta (Halaman Indonesia, 2018). Kini tinggal di Jakarta sebagai Jurnalis dan Ketua Komunitas Burung Merak Rendra (KBMR).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib