Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Perancang sampul: Shohifur Ridho Ilahi

Seorang Telah Pulang Tanpa Suara

1.
seorang telah pulang tanpa suara,
seperti jam tiga yang menyisir tepi pintu dan jendela.
saat mata senja terbuka membuat bayangan,
kilau yang jatuh jadi penanda
hujan pertama.

lagu-lagu raib ke tengah kolam,
dan kenangan, adalah rumusan huruf yang basah.
seorang telah pulang tanpa suara.

2.
gemeriap cahaya, gaib dari barat dan utara.
adzan baru saja raib, tapi senja belum sempurna
juga habisnya.

kudengar seorang pulang tanpa suara.

Bojonegoro, 2007


Beranda Perjanjian

Saya selalu menunggumu. Di sini, di sebuah tempat yang hening, di bawah pohon akasia di tengah taman kota yang kekal dan dimanjakan beratus kenangan. Kota yang terus mengaji dirimu. Kota yang mengawasimu sejak pagi dinyalakan hingga malam yang bangkit, kembali tidur di tengkuknya, ketika bulan padam ke dekat fajar yang tumbuh gemetar.

Demi risau yang ditentramkan, sungguh, saya selalu menunggumu, Sayangku. Di antara gusar yang kau lempar sia-sia pada jalanan, pada derum truk dan angkutan yang berlalu meninggalkan debu.
Saya suka membayangkan menjadi Tuhan pada setiap perbatasan hari-harimu yang perih dan ragu, menjadi lingkar cahaya yang berbaris panjang menghiburmu.

Di tepi ribuan sore yang lepuh, di bawah kaki anak-anak waktu yang berlari gaduh menabik ngilu pada akhir setiap senja yang rumit dan suka datang membuat bayangan, saya menunggumu untuk sisa-sisa tahun yang terus melengkapkan luka sia-sia.

2008


Akar

hatimu sulur-sulur tahun yang menagih hujan waktu.
malam menciummu dengan janji, tanah liat paling dekat.
angin membungkuk, sedang sunyi tak ada.

lalu laut menyimpan napasmu.
jantung yang terus mengasah tombak-tombak doa
surup ke langit yang berjaga.

tak dirajuknya
linang malam yang dibawa masa lampau itu.

linang malam dan masa lampau yang merayap
lesap ke pantai, ke gigir pasir yang luas
lekuknya penampung asin rindu.

masa lampau, napas kunang yang berjaga.
: agar tak padam api di lubuknya,
agar tak robek kulit di tubuhnya.

kau pun tamasya ke hutan-hutan malam
penuh suara.

2009


Tujuh Tipografi Tahun

1/
kau cuma perlu menatap dan memberi waktu yang sedikit untuk matahari yang terbenam, karena kepada suara aku jatuh dan tertidur. karena tangis yang lucu adalah sebuah kota buta.

2/
kita cuma pelancong, dinda. di ranjang tempat stasiun-stasiun tumbuh, tanganmu dan tanganku tak bertemu. kota, nama lain dari rute panjang setiap perburuan.

3/
aku menggenggam tanganmu melalui semua tahun. aku menggenggam semua tahun melalui tanganmu. di batas, pedih merambat pada setiap kata.

4/
jeremia, suara dari kamarmu. suara yang melepas sia segala, menyeberangi ketuk jam, memasuki jembatan pulang. tekuk, tekuklah tubuh ini. padamu.

5/
ia tak mau menangis ketika malam mengirim suara stasiun. rautnya yang nakal membayangkan tidurmu. jam berayun dari ngilu ke ngilu, membangun kota di lengannya. lengan yang pernah memberi lampu pada masa kanaknya.

6/
ingatan, adalah batu di kota tanpa cahaya. kalung-kalung waktu pada namamu, pada namaku, menjadi lonceng bagi malam yang mau berhenti sebagai malam.
 “kau ingin pergi dari kenangan?” tanyamu.
“adakah yang lebih diam dari rindu pukul sembilan?” balasku.

7/
ketika linang lampu jatuh ke tengah remang, debar arloji melambat, menunggu waktu mencederaimu. kau tahu mengapa bulan suka menggumam malam-malam tentang kenangan, janji pisau yang ingin sekali melukaimu?

2012-2013


Randu, Sebuah Pohon di Dalam Dirinya

randu. sebuah pohon di dalam dirinya. tempat segala pernah bermula. pada apa pun yang dicatatnya, cuma pohon randu yang masih belum menanggalkan kulitnya. sebuah jejak telapak tangan yang digambarnya dulu, memberi pengertian bahwa ia tak sekali pun mengingkari kepulangan. tak ada yang dapat melawan sajak-sajak yang tumbuh menyerupai pohon randu, kecuali musim yang berubah dan angin-angin jahat yang mengenalkannya kepada riuh. malam-malam laknat dan genta pada kalungnya.

bila kebisingan ini kelak reda. pohon randu menjemput tangannya.

2016


Timur Budi Raja, lahir di Bangkalan,. Menulis puisi, prosa lirik, beberapa naskah pertunjukan, esai sastra dan bergiat mengaransir puisi-puisinya ke dalam bentuk musikalisasi puisi yang dibawakan dari konser kecil ke konser kecil. Aksara Yang Meneteskan Api, merupakan sehimpun puisi tunggal pertamanya (Lingkar Sastra Junok, 2006). Opus 154 adalah sehimpun puisi tunggalnya yang kedua (AkarHujan Press, 2012). Puisi-puisinya menjadi bagian dalam beberapa himpunan puisi bersama; Akulah Mantera (1996), Mosshat (1998), Anak Beranak (1998), Istana  Loncatan (1998), Luka Waktu (1998), Narasi 34 Jam (Komunitas Sastra Indonesia, 2001), Osteophorosis (2001), Hidro Sefalus (2001), Sastra Pelajar (Horison, 2002), Ning (Sanggar Purbacaraka Udayana, 2002), Permohonan Hijau (Festival Seni Surabaya, 2003), Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2004), Pelayaran Bunga (Festival Cak Durasim, 2007), Laki-Laki Tak Bernama (Dewan Kesenian Lamongan, 2008), Rumah Kabut (2009), Pesta Penyair Jawa Timur (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), dan Forum Sastra Hari Ini (Salihara, 2010), Lelaki Kecil Di Lorong Maling (Melati Press, 2013), dan Mahar Kebebasan (Mata Malam, 2013), Wasiat Cinta (Nala Cipta Litera, 2013). E-mail: dear.timur@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib