Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]



W C

di sebuah terowongan panjang riwayat dimulai.orangorang berjatuhan dari sebuah metabolisme tubuh di antara bising mesin dan gelegak ombak menghubungkan antara lapar dan kenyataan,
kenyang dan bebusukan. Jembatan yang mengular antara harapan dan kekalahan tempat meniti ketidakpastian tanah. Di bawah jongkokan, tubuh itu nyemplung meninggalkan bunyi dan dengung tanah jauh

lapak-lapak biru menggelar haru di sepanjang jalan ke gerbang Madu. aku lukis laki-laki memakai udeng memainkan layang-layang tanpa kekang di belang langit harapan. sejenak mereka berpose di depan pintu. batik nasib yang merah pucat dipanggang matahari naas. ornamen daun dan bunga, sulurnya membelit pikiran, menjalari lapak-lapak kusam, dengan warna hitam bayang-bayang.

papan-papan reklame mengangkang di atas jalan menjatuhkan kotoran ke atas para pejalan. papan yang saling menusuk mata di antara geliat lapak yang kian sekarat. Tulisan selamat datang bersebalik dengan selamat jalan di antara papan-papan muram dengan tulisan besar-kasar tak beraturan menawarkan tempat buang air besar. Metabolisme kota yang resah, semerbak bau merebak antara bumbu dan basi ketumbu di pangkal paha, sebelum kelamin laut menyambut dengan gerai rambutnya yang takpernah surut, dan ikan Sura berlompatan memamerkan sirip bergambar gedung-gedung, dan perempuan timbul-tenggelam menyalakan lampu petang
yang memilukan.

2012


BALLAH

Sungai itu menjadi ular, terbang ke bukit babaran.menguburkan kisah para dewa dan tentara yang usai melakukan pembunuhan massal di punggung kota. Semboyan 35, aku dengar peluit kata yang telah lama mati mengusung tumpukan gerabah kenangan di stasiun kotamu. Sebuah langgar tua tergolek dalam televisi memperdengarkan lagu kasidahan mengurai cinta murahan.

Kota itu bangkit menjadi seekor sapi hitam berlari sepanjang jalan sunyi, membajaki jalan raya dan tanah-tanah kosong dalam hatimu. Luka-luka di pantat membentuk sebuah pulau yang cukup aku kenal, tanah kelahiran.Tanah yang sama.

Aku kembali bertani menggali batu jadi berkah, menjadi pedagang, tawar-menawar, mematok harga diri. Lalu, menanam benih kata-kata di gembur kepala, tumbuh uban merah dan bunga tembelek di tepian jurang. Lubang yang menganga di dada malam.

2012

BATANG ASAM

Inilah perjalanan waktu, tanah-tanah pertanian
jalanan melebar ke tepian mataku.
Tubuh buruk dengan sisik beretakan
bertabur sekujur badan. Penyakitan?
Bukan sayang, inilah ketam waktu merajah
baik dan buruk di antara musim hiruk. 

Daging yang kasar, telah aku sematkan rasa lapar
dan nista di antara angin barat menisikkan jejarumnya
di antara batas sakit dan harga diri. Serat-serat yang siap
mengakhiri kisah di atas tungku bahagia yang tersalib.

Maka, aku ceritakan kembali tentang biji hitam
yang terselip dalam sela kunyahan
yang luput dari tafsir kematian.
Biji yang menunaikan janji hidup
kepada seluruh makhluk.

Serabut akar memeluk butiran-butiran kerikil naas
hingga kuat manahan badai dan hujan malam yang deras.
Akar kurus menyusu sela-sela butiran tanah
mencari air dan seresah.

Akar menggeliat terpental batu ganjal yang nakal.
Aku kirim mata air dan bebutir makanan ke dedaun
yang merimbun di atasan.

Bunga-buga bermekaran
menebarkan dingin angin malam
mempererat sedekapmu  pada kekasih.

Bunga-bunga merah di antara hehijau tunas
yang terus tumbuh di musim unduh. Lalu,
mereka berayun menirukan suara angin
berlayangan ke atas batu meremukkan badan.

Di dalam sakit bijiku kembali bangkit
menyusuri sela bebatu gunung, mengeja hidup
tumbuh dari belahan kepingan kecut waktu 
dan manis harapan di pasir takdir.

2013


DONGENG ANAK

Susunan geligimu membuka masuk ke dalam jantungmu.
Rumah mungil yang benderang  dengan sepuluh pintu
terbuka ke angkasa. Dari kelopak matamu warna-warni
melengkung di depan gerbang. Cinta mulai tumbuh,
aku tuliskan riwayat rumput mencengkeram tanah latar
 bertahan dari lapar dan cakar; mawar selalu mekar
ketika senja membuka pintu malam.

Serambi terbuka, tetamu datang dan pergi.
Aku tuliskan alamat singgahmu. Tempat kau
membuka-buka kitab hayat, tanah-air, udara,
dan api. Tarian kayu dan besi di masa kecil
yang melengkung ke bintang berpendaran.

Serangga bergigi besar itu menggambar di atas
daun, sungai, bukit, dan lembah membentangkan
arah ke setapak yang bercabang arah hutan.
Bila malam, serangga dan kelelawar beterbangan
dihantar kunang-kunang kuning dan kecoklatan
melukis gelap dengan cahaya paling cerah

Dari bintik matamu yang tak pernah menyerah,
memecah sunyi dan membagi sepi dalam
potongan-potongan kecil buah yang
aku amini.

Ekor bulan yang tajam menusuk lambung sunyi,
rerambut tengkuk pagi memanggil matahari,
matahatimu paling kiri.

2013


UPACARA

Batu-batu bernama dan bunga-bunga
menyiram warna, matamu. Dua bongkahan menyala
 membasuh ruang dan rindu. Batang-batang meliuk
 menari di atas kebun tubuhmu yang bongsor.
Memanggil pulau-pulau jauh dan hati sauh.

Menara putih dan biru
suara-suara yang menjalar dari liang tubuhmu yang beku.
Suara pasar dan malam berpendaran menjadi lambung kota.
Anak-anak berdendang  tanah lapang
suara gemerisik yang terus menembus jauh
ke dalam bilik tubuhku. Bilik yang berpenerang
lima kaleng cat bersumbu.

Kau membaca kitab pulang  yang lama
tersimpan di rak dada di antara sendok-garpu
dan piring yang selalu berdenting.
Dering suara, dan gemerincing matamu
di depan pintu pusat belanja. Di antara bungkusan
plastik dan aroma penyejuk ruang. Buah peer,
limau, manggis, semangka, pisang raja,
dan aneka pakaian dalam.

Di atas dinding yang mengarah ke telingamu
suara rumah, kamar, mandi, toilet, dapur, ranjang, kursi, pembersih badan, pengharum perempuan, dan sebuah mesin gesek uang plastik berdering.

Ada gambar kepala dan burung terpampang
di atas pintu, gambar yang mengingatkan kepada
lukisan kaca yang dibuat kakek.
Dari jauh lambaian tangan para pendahulu
di sesobek kain berdarah itu. Di kepalanya
dentang hiphop, dangdut koplo, dan
house music menarik ingatan
keluar dari laci waktu.

2013

KEMBANG ASAM

Aku bertanam melunasi janji pada matahari, menari mengikuti arah angin. Masih kuingat  janji yang pernah kita ikrar di antara tongkol jagung yang tengah terbit di ketiak pagi. Saat pohon asam memekarkan kembang bersama guguran angin yang gigil memasuki beranda.

470 bebatang kian tinggi cecabangnya mengarah ke berbagai mata waktu. Batang yang menyimpan gairah di tepian jurang yang mengubur ribuan kisah. Bunganya jingga seperti riang semu wajahmu memanggil kekumbang menari dari arah pancaran matahari. Tarian dari sebuah rumah yang membuat kita betah menunggui sampai subuh berganti.

Kawat-kawat bersilangan di atas awang mengirimkan alamat dan percakapan yang terekam dari ruang tidur. Kita bikin janji di sebuah kafe kampung dengan menu ikan bakar dan ayam bumbu. Sepiring gumpalan cahaya berkilauan dan onggokan kakap karang yang terbakar  bumbu malam bergilap, melelehkan bulan di atas piring bergambar mawar.

2013

Hidayat Rahardja, lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Lulus D III IKIP Surabaya. Tulisannya dipublikasikan di Karya Darma, Surabaya Post, Republika, Swadesi,Pikiran Rakyat, Singgalang, Horison, dll. Karyanya : Puisi PariwisataIndonesia (ap), Tanah Kepahiran (ap), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (ap), Songket  (ap), Negeri Banyang-Bayang (ap), Negeri Impian (ap), Memo Putih (ap, 2000), dll.

Catatan Si Tukang Arsip : Puisi ini diambil dari blog pribadi pengarang.  Diposting pada tanggal 25 Desember 2012 (W C), 20 Desember 2012 (Ballah), 1 Juni 2013 (Btang Asam, Dongeng Anak, Upacara, Kembang Asam ). Biografi Penyair di ketik ulang dari : Korie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, ), hlm. 195-196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib