Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]




Avonturguide.blospot.com, 28 January 2012 by Karlina Thung

Damar Kembang

Aku memujamu dengan api ini, anakku..Sebab aku tahu rahasia pendan damar pada sumbu kapas yang desisnya terdegnan. Di atas sekerat daun lontar dan jelantah itu, suluh damar menajdi kompas bagiku, dan kusulut i bagi jiwamu, agar nyala dan terangnya meresap ke dasar hatiku.

Bila api menggeliat di udara: ke kanan dan ke kiri, ia melarut jiwa, kau pasti bahagia di sana. Dan bila ia mati, kusulut lagi, mati lagi; gerimis bening tumpah dari mataku, memadamkan segala sukamu.

Bagiku, kau adalah api itu, anakku. Api yang berkobar di aliran darahku, sumsum tulang, dan detak jantungku. Garis nasib yang kau ikuti lajurnya adalah perpanjangan sumbuyang kau sulut di rahimku dulu. Karena itu, aku menjagamu tak mengenal waktu.

Singosarne, April 2011 (ritual orang madura untuk mengetahui keadaan anak atau keluarga di rantau).


Di Pemakaman

Kelak, di pemakaman ini ruh-ruh akan tumbuh seperti pohon. ‘
Akar-akarnya berserabut dan menghunjam dalam tanah.
Amal-amalnya menjadi batang dan getah meleleh bagai cinta yang mencair.
Lihatlah, bunga-bunga di ujung ranting, kelopakanya mekar ke langit; ada yang ceria, ada yang derita.

Kelak, suatu pagi di pemakaman berkabut ini, ruh-ruh kita tumbuh.
Kita akan bertemu mengenang permainan dadu, buku, dan kisah yang tak selesai.
Kita berjanji akan melanjutkannya nanti, bersam ular yang meliuk-liuk dalam api, atau degnan burung-burung yang bertekukur dalam cahaya.
Ya, kelak di pemakaman ini akan menjadi hutan rimbun, yang ditumbuhi ruh-ruh kita.

Sareman, april-mei 2011

Burung Kematian

Burung kematian mendatangi rumahku menyobek kain kafan di luar pintu; sayap kanannya memiliki jiwaku, sayap kirinya menaruk duka di ruang tamu.
Aku tersenyum padanya
Ia mengedipkan mata ajalku
Kubangun tembok batu di dadaku
Ia menggapainya dai hari jumat pagi itu.
Ingin kuumpat dan kulabrak ia
Namun mulutku tak mampu.
Ingin kuterjang paruhnya
Namaun kakiku kaku,
Hanya embun membasahi bibirku
Dengan kalimat-kalimat yang terus mermangu.
Keningku berkeringat
Wajahku mulai pucat.
Ia benar-benar membawaku
Terbang tinggi dan tinggi sekali

Aku mengenang kaian dari ketinggian ini
Bagai berpesta matahari.
Siapa yang luruh dalam tangis?
Siapa yang murung hingga sore hari?
Kini, aku telah kembali ke muasalku
Menjadi tanah dan abu
Yang ditaburi mawar dan randu,
Dan kucium kalian di hari terakhirku
Dengan jiwa kata yang mengenang namaku

Malang, April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib