Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

ilustrasi/arsippenyairmadura.com

MahwiAir Tawar,
yang lahir di Sumenep, 28 Oktober ini menulis puisi dan cerpen. Karya-karyanya dimuat di pelbagai media, diantaranya: Jawa Pos, Kompas, Suara Merdeka, Horison, Jurnal Cerpen, dll. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam antologi bersama. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan yaitu, Taneyan (2015), Tanah Air Puisi, Air Tanah Puisi (2016), serta Perjumpaan, Pengembaraan, Puisi (2018). Sementara buku kumpulan cerpennya ada Blater (2018), dan Karapan Laut (2015). Beberapa puisinya ini telah tayang di situs by Borobudur Writers & Cultural Festival pada 14 Agustus 2021.

 

Excelsa

 

Ada masa,

dari ketinggian penderitaan Afrika

kuseduh namamu hanya dalam seduhan rindu

meski di Les Deux Magots, ranum senyummu

terlipat dalam kertas kusut sajak Arthur Rimbaud

dan lidah keluh Simone de Beauvoir

 

Bersama biji-biji kebahagiaan

kujulurkan lidahku, rambut usia rawan

kuikat dengan tali-tali hitam VOC pilu

dan kurepihkan arabika, kuseduh robusta

di atas tungku sejarah kutaburkan

di awan angan belaian negeri kincir angin

hingga namamu tak lagi utuh

di pagi kasturi, di gelas cintaku

kupeluk dan kudekap tubuh molekmu

di antara biji-biji hitam negeriku.

 

Bersama biji-biji kenangan

kurayakan perjumpaan denganmu

di atas ketinggian pancang tiang negeri tropis

yang melulu sembab oleh tetesan lidah barista

di balik bar dan lipatan rupiah

 

Cold Brew

 

Seusai bertukar takaran

ampas-ampas kisah beserpih

dari halaman kusam petani nyeri

mencari seasap kehangatan

dari wangi semerbak kopi negeri

 

Tapi di remang kafe

lidah menjulur jauh ke persimpangan

genangi kelokan merah tetesan

berasa gerigi cokelat dan hitam penggilangan

senandung irama lagu La Vie En Rose

iringi penyatuan kopi nyeri

 

seusai bertukar akar kering pikiran

ampas-ampas pertikaian berkitaran

dalam pecahan seteru dua musim

 

Dua belas seduhan sendok hujan

iringi dua belas jam kerinduan

satu kecupan dari beribu cecapan

sempatkah dentingkan irama seduhan

dalam satu sentuhan?

 

Di gelas retak lendir barista pandir

seolah kopi pelalau getir di cangkir

di lemari pendingin berlapis stiker embun

buaian awan.

 

Kopi Batok

 

Kuseduh sudah hitam kopi perjalanan

dalam gelas kaca Rara Pembayun

ribuan tahun dari ketinggian Prambanan

bara lintingan tinggal kerling di bungkahan

kisah-kasih pun sepekat larva merapi

manis gula Madukismo sulaman

selempang asap sengsara pekerja.

 

Bukan kopi sungguh kuseduh sudah

tapi denting pecahan beling gelas batin

dalam iringan pawai pencarian

serpihan surat Swapraja Magersari membubung:

 

terbang, terbanglah merpati hati

ke puncak gulana perih Merapi

 

250 meter dari ketinggian bukit ranggas, Gunung Kidul

kusaksikan Yogyamu dalam genggaman bara merah

meriap di tungku sendu angkringan

menyala dari area parkir Malioboro.

 

Dari ketinggian mimpi pedagang asongan

kusangrai biji-biji batok kopimu

sampai menderai pulung ke jantung pilu

di tungku tempat menghangatkan rindu

kubakar sudah kisah-kasih tak berujung, Rara Pembayun

dalam hitam pekat asap Madukismo

 

Bintan

 

Dengan apatah kiranya dapat kususuri biru riwayatmu

Masa lalu berperahu dalam percik ombak belaian pantun

Seberangi pulau-pulau cerita di atas hamparan tamadunmu:

Dari mana mesti kumulai, sepoimu kini tak sanggup kualun

 

Bagaimana aku ‘kan tiba di haribaan luhur leluhurmu, Melayu?

Malaka berkecai, semenanjung terberai, bunga-bunga puisi layu

Di permukaan palung arti, di dua belas mata air Carang dan Bintan

Aku hanyut dan tenggelam, di jauhi mercusuar , didekap kenangan.

 

Kususuri tanahmu dengan berbekal buntalan kertas kelam

Seperti juga moyangku, berjalan dan mengantar tilam

Bagi sang junjungan di majelis-majelis malam

Merancang dan menyuluhi diri dengan kalam

 

Tak kupedulikan ujung senapan Portugis menghunjam:

Aku melayu tak tunduk dibujuk keping mas

Tak kupedulikan cahaya mercusuar berlapis logam

Aku Melayu, tegak lurus pantang memelas!

 

Maka kuketuk dua belas pintu renungan

Di tepi Penyengat, di malam lingkaran taklim

Kusuluhi harakat-harakat dengan takzim

Di hadapan Raja Ali Haji, kurundukkan keangkuhan.

 

Tentang Seseorang yang Kucinta

 

Seseorang yang kucinta dan kurindu kini menjadi nama jalan

Dari bentangan kenangan ke seberang titik pertemuan.

 

Oleh karena rencana tak kunjung terwujudkan

Seseorang yang kucinta dan kurindu membakar

Tanda arah jalan, tertulis di atas kertas bersampul kuning kenangan

Ia menguburnya sebelum surat-surat perjanjian menjelma

Bantal, spreai, dan tas ransel hitam impian.

 

Dalam sebuah perjalanan, pagi menjelma kupu-kupu

Terbang dengan bersayap alamat, lalu hinggap di taman pikiran

Putik-putik pun mekar, akar kebencian menjalar

Hapus jejak embun di bangku berlapis debu kerinduan

Dan kebencian yang dihempaskan angin dari lubuk kesunyian

Beterbangan ke arah jendela, tempat lelah mata disandarkan.

 

Seseorang yang kucinta dan kurindu kini sibuk merajut

Mengisi hari-harinya dengan melipat masa lalu

Dan menyimpannya di lemari berpelitur lara

 

Borobudur Writers & Cultural Festival adalah wahana pertemuan antarkomunitas, antarkelompok, dan ruang dialog antara karya-karya budaya dengan publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib