Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Karya: Faisal Kamandobat


Sembahyang Bahasa

Bahasaku sebagai jamaah
yang khusyuk sembahyang
di atas karpet puisi.

Dan umat kata-kata tak pernah
ingkar janji pada Tuhan imaji
sebagai diksi-diksi pilihan
dalam kuil-kuil puisi.


(Cabean-2018)



Jangan Ajak Puisi Pergi ke Mati

Hari ini baru sabtu
esok sudah jumat
begitu cepat waktu
ingin mengecup kiamat.

Sedang aku tetap begini:
diam membaca tubuh–
tubuh sebagai puisi.

Lalu tuhan datang memecah diam,
dengan satu lemparan pertanyaan.

Kapan engkau pergi, pergi ke surga
dengan meninggalkan neraka imaji?

Kata tuhan bumi yang kutakuti.

Aku tidak akan mati-mati dalam
puisi, sampai tubuh menjadi mumi–
sekalipun terjepit kesedihan bumi.

Jawabku, tandas.

Namun tuhan tiba meleleh sebagai
cairan sunyi dalam malamku. Lalu
kuakhiri saja ini perjumpaan dengan
beberapa patah kalimat yang sudah
langka.

Aku tidak ingin pergi meski engkau
mengajakku mati dari puisi. Titik.

(Cabean-2018)



Sembahyang yang Papa

\I\
Pikiran bersilasak dengan perasaan sendiri
di tengah sembahyangku tegak lurus ke
langit yang mungkin tinggal gerak.

Uh,betapa papa al-fatihahku.
Ah, betapa malang nasib takbir bibirku.

\II\
Pada rukuk pertama setan sebagai
hp, fecebook dan twitter membunuh
Tuhan dalam khyusukku. Sedang di
rukuk kedua musik mengalir sebagai
tubuh-tubuh Nella Kharisma dan
Via Vallen mengajak imanku berdangdut
di hadapan Tuhan.


\\III\
Lalu apa artinya dua rakaatku, tiga
rakaatku, empat rakaatku dalam sujud
lima wajib di tubuh jumatku, sabtuku,
ahadku, seninku, selasaku, rabuku,
kamisku?

(Cabean-2018)



Kata Tetaplah Kata Walau Selalu Lugu
di Lidah Para Politisi dan Pendusta

Mungkin hanya kata: bertahan
menahun dalam baris-baris resah hariku.

Karena kata tak pernah serakah
selain menyembunyikan makna hati
ke dalam samudra puisi.

Walau kata hari-hari ini sering dikhianati
sebagai kantong-kantong janji para penguasa
yang berisi basa-basi bijak namun ilusi
setelah jadi raja nanti.

Namun kata tetaplah kata
walau masih lugu di lidah para politisi dan pendusta.

2018-09-04



Kepada Penyair Muda

Karena kita adalah penyair berdarah muda
bukan hewan dungu soal mengunyah bahasa.
Maka revolusi puisi harus diperjuangkan.

Agar segala debu pada bola mata sastra
suci dan merdeka dari rayuan manis
sajak nenek-moyang penyair purba.

Sebab penyair bukan tukang foto copy
apalagi seorang plagiat puisi sejati.

Adakalanya, penyair adalah Tuhan revolusi
makna, kata dan diksi dalam semesta puisi.

2018-09-03



Norrahman Alif, lahir di Dusun Jurang Ara, Sumenep, Madura. Dia bergiat di desa dan Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Dia menulis resensi, esai, dan puisi Minggu Pagi, Radar Surabaya, Merapi, Media Indonesia, LiniFiksi, Kedaulatan Rakyat, Wasiat Darah, Sasoma, antologi puisi Ketika Burung Burung Telah Pergi, Antologi Puisi ASEAN 1, Buletin Jejak, NusantaraNews.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib