Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

oleh: Afrizal Malna

Beberapa kali saya bertemu R. Timur Budi Raja di beberapa kota Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertemuan yang masih melayang-layang. Apakah saya sedang bertemu dengan ”seorang mitos”? Timur adalah salah satu keturunan raja-raja di Madura, mengenal mata rantai yang masih ketat dari nilai-nilai yang dibawa dalam tradisi keluarga kerajaan, bergerak dalam dunia kepenyairan dan seorang pemusik. Lahir di Bangkalan, 1979. Dua situs ini, kepenyairan dan kerajaan, membawa pembayangan akan tradisi para kawi yang menggoda saya, kehidupan pujangga di masa Majapahit yang dikenal sering melakukan petualangan ke gunung-gunung. Dan yang dilakukan Timur adalah perjalanan ke kota-kota sebagai ”gunung-gunung masakini”.
Timur Budi Raja, penyair asal Bangkalan, Madura,
Dimanakah gunung masakini itu berada?
       Sebuah jembatan, Suramadu (gabungan antara nama Surabaya dan Madura), telah berdiri menghubungkan antara Jawa Timur dengan Madura. Jembatan sepanjang 5.438 Meter ini telah menghubungkan dua daratan, tetapi sekaligus telah membuat kawasan Selat Madura yang pernah ramai dengan kapal-kapal yang mengangkut penumpang maupun barang, menjadi ruang mati. Laut seperti terkubur di bawah jembatan yang diresmikan Presiden Megawati (2003) dan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (2009). Menghabiskan dana sekitar 4,5 triliun Rupiah. Kota Bangkalan seperti mulut yang menganga kosong di ujung jembatan, menyambut berbagai kendaraan bermotor yang kini keluar dan masuk di atas jembatan itu. Apakah pusi dan teater sebagai situs-situs seksi yang cukup banyak diikuti generasi muda di Sumenep maupun Pamekasan, ikut berpesta dengan berdirinya jembatan itu? Saya masih gagap menghadapi kenyataan dari militansi sebuah kelompok teater yang dikelola penyair M. Fauzi di Sumenep, yang masih diskusi walau hari menjelang pagi.
           Seorang-masakini yang entah berada dimana itu, batas-batasnya rasanya kian mengabur ketika melihatnya melalui jembatan terpanjang yang pernah berdiri di Indonesia. Timur Budi Raja masih melakukan perjalanan keluar dan masuk antara situs masalalu dan masakini. Dia sempat membawa saya ke pemakaman keluarga kerajaan di Sumenep, menceritakan tentang beberapa tokoh kerajaan Madura yang dikubur di pemakaman itu. Kuburan yang penuh warna melalui para penziarah, terutama perempuan, dengan pakaian warna-warni dari hijau gelap khas Madura dan kontras warna-warna tropis lainnya. Setiap penyair Indonesia seperti sibuk bekerja keras untuk mendapatkan masakininya, tetapi kemudian tidak tahu masakini itu berada dimana dan akan diletakkan dimana. Kesunyian kemudian menjadi epidemi yang mengelilinginya, antara bahasa Indonesia yang berusaha ditegakkan sebagai bahasa kebudayaan dengan kemoderenan yang masih panik dengan nilai-nilai agama maupun lokalitas.
Ketika saya bertemu dengan salah satu kumpulan puisi Timur Budi Raja, kemudian terbit dengan judul Opus 154 (2012), saya tertarik membaca sebuah puisinya, Fragmentasia Fort Rotterdam. Benteng Fort Rotterdam di Makassar ini, merupakan situs yang kaya dengan berbagai warna sejarah, menyisakan banyak lapisan dari Hindu-Bugis, Islam, kolonialisme dan Bugis masakini:

FRAGMENTASIA FORT ROTTERDAM, MAKASSAR
sengau ribuan musim berloncatan
berdesak mengigau di reretak jejantung bangunan.
si tua ngelangut, si tua memakam.

senja malam. dibunyikan seperti sirene,
rumah lelampu di tanganmu. kalung-kalung cahaya
sepenuh leher diruncingkan:
- kepada lelaki-lelaki coklat yang pulang di habis sore.

saya ke kotamu malam-malam sekali.
hendak menetap di sini. tapi,
bulan mengawang di bibir saya.

setengah melancong, setengahnya lagi
itulah badik yang terlempar dari lautnya. menjadi menantu, juga suami nenek saya.

si tua menerima kami di kamar-kamarnya. lalu
serdadu-serdadu itu di pintu dengan bedil terkokang.
“itu hantu!” sahabat saya bilang.

di kamarnya yang lain, mata anjing kecil
jujur membilah-pecah rindu yang dijulurkannya.
2000

Cukup banyak penyair yang menggunakan situs benteng yang mempesona itu sebagai tema untuk puisi mereka. Romantika dan heroisme membayanginya, di tengah langkanya generasi masakini untuk bisa bertemu dengan situs-situs kolonial yang masih terpelihara seperti Benteng Fort Rotterdam ini, mengalami sensasi bagaimana tubuh mereka memasuki tubuh-sejarah melalui situs seperti ini. Benteng pertama kali didirikan Raja Gowa ke-9 (I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna), tahun 1545, dengan nama Benteng Panyyua (penyu). Nama yang tidak jauh dengan kura-kura sebagai salah satu personifikasi mitos dalam Hindu. Tipografi benteng ini pun berbentuk kura-kura, menghadap ke pantai Losari, laut Selat Makassar. Sejak perjanjian Bungayya antara Kerajaan Gowa dan pemerintah Belanda, di Batavia, 19 Agustus 1660, benteng ini kemudian berada di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Cornelis Speelman merenovasinya sesuai dengan kebutuhan dagang dan militer mereka, dan mengubah namanya menjadi Fort Rotterdam; membawa narasi kota Rotterdam sebagai kota pelabuhan untuk ruang makna kolonial mereka di Makassar, sekaligus Rotterdam sebagai kota kelahiran Speelman.
Ruang makna apakah yang dikelola Timur dalam puisinya, Fragmentasia Fort Rotterdam, ketika puisi ini diturunkan kembali bersama dengan riwayat pendek di sekitar benteng di atas? Saya ingin membacanya dengan cara berkeliling, menggunakan puisi lain yang ditulis penyair berbeda yang pernah menulis puisi berdasarkan situs yang sama. Puisi yang ditulis tiga orang penyair yang hidup dengan latar berbeda: Aan Mansyur yang hidup di Makassar, tidak jauh dari situs ini, Esha Tegar Putra yang menetap di Padang, dan Acep Zamzam Noor yang tinggal di Tasik Malaya.

Esha Tegar Putra:
—cerita buat Anata Aulia Kautsar

kami duduk berempat
dekat beringin lama yang daunnya tak bergerak sama sekali
udara mati
di sebalik aku dengar
orang-orang bercerita tentang cumbuan mereka kemarin malam
sementara temanku bercerita tentang hantu bule
yang hilang-timbul dari lapis-lapis batuan dinding

kudukku jadi dingin dan merinding
serasa kali pertama mencoba ciuman di bagian bibir

fort rotterdam jam 8 malam
aku membayangkan ledakan pecah dimana-mana

sementara orang-orang berhamburan meninggalkan kekasihnya
meninggalkan kegenitan yang selalu dibahasakan dengan dekapan

malam begitu saja lewat. sehabis cerita hantu
temanku mengisahkan seorang perempuan
yang mati gantung diri di salah satu dahan beringin
aku jadi ingat rencana kematian kekasihku
rencana kematianku juga
rencana yang gairahnya
menandingi gairah pertama kali mencoba ciuman

di sini udara telah berulangkali mati terbunuh
angin diam teramat kosong
percakapan mulai terdengar seperti selonsong peluru lepas
: di jauh ada luka, di sini perihnya tertahan
satunya kandas, yang lainnya tumpas....

malam begitu saja lewat, kami tinggal bertiga
kami mulai menerjemah percakapan orang-orang
yang sesekali terdengar serupa teriakan kesakitan

ada udara yang mati lagi
jatuhan daun beringin pertandanya
2010

Aan Mansyur:
DI SEBUAH KAFE, DI DEPAN FORT ROTTERDAM
:mrp

beberapa menit sebelum konser senja dimulai,
seperti janjimu, kau datang dengan rok selutut
membawa perpustakaan di pelukanmu
menemuiku duduk menghadap ke barat
dengan asap rokok yang dihembus berat
kau duduk dan bertanya:
apakah kau sudah siap mendengar aku membaca buku?
aku menjawab dengan bertanya:
apakah kau sudah siap mendengar aku membaca buku?
lalu kau membuka pintu dadamu,
masuklah, katamu, duduk di dekatku,
pilih buku mana yang harus kubaca!
aku mengambil dari rak yang berdebu
sebuah buku bersampul biru
katamu, ini tentang kedalaman laut dan masa lalu
setelah itu, aku membuka pintu dadaku,
kau masuk dan memilih yang berwarna ungu
buku tentang ketinggian langit dan masa lampau
kau trauma dengan dalamnya laut
aku trauma dengan tingginya langit
“hidup di bumi, di atas tanah ini,
bersamamu, adalah yang paling indah,”
kataku, dan kau mengulanginya
dan senja, dan senja ke mana ia?
sudah pergi seperti berlari, kata pelayan kafe
yang mengantar gelas kedua
dan sebatang lilin yang kau matikan apinya
dalam remang cahaya-cahaya malam
kita saling bertukar katalog perpustakaan
dan berjanji untuk datang ke tempat itu
lagi dan lagi
tidak untuk menonton konser senja
tetapi saling membacakan buku
sekaligus menuliskan buku-buku baru
2005

Acep Zamzam Noor:
FORT ROTTERDAM

Semburat fajar
Mewarnai langit tenggara
Udara yang terbakar
Tercium dari puing-puing
Pelabuhan. Cahaya susut
Garam-garam kabut
Dan sebuah gema
Yang ditembakkan ke laut

Kisahmu tinggal jejak-jejak kaki
Para pemburu udang. Waktu
Hanya asap
Yang mengepul
Dari tungku

Perahu-perahu di kejauhan
Tak lagi bergerak
Ke arahmu. Hanya sisa ombak
Gelombang lunak
Dan bintang-bintang mati
Yang berjatuhan

Kemudian sebuah peta
Di balik rambutmu
Menunjukkan isyarat
Yang tak pernah terbaca:
Ada gambar badik di pundakmu

Kisahmu tinggal kerumunan jam
Di pergelangan. Angka-angka
Yang berloncatan
Hurup-hurup yang tumbang
Ke haribaan

Pulau-pulau yang pergi
Tak akan kembali
Menemui pagi. Hanya sisa lampu
Kelap-kelip tak menentu
Semacam ajal
Yang kehilangan sinyal

Kemudian tubuhmu
Gelap tubuhmu
Mengisyaratkan jejak
Yang tak pernah tercatat:
Sebuah peta terukir dekat pusarmu

Kematian yang seksi
Menyelinap
Ke balik sunyi. Seperti burung
Dengan sayap-sayap besi
Seperti kawat
Yang mengalirkan birahi

Kisahmu tinggal percikan air
Pada pasir. Usia
Hanya balon udara
Yang pecah
Menjadi rahasia
2007

            Ketiga puisi di atas saya kutip utuh untuk bisa mengintip dimanakah jejak-jejak narasi di sekitar situs Benteng Fort Rotterdam masih bisa kita temuka pada ketiga puisi di atas, dan setelah itu menjadi dinding baru untuk kembali membaca puisi Timur dalam konteks situs yang sama. Dalam puisi Esha Tegar Putra (yang bermukim di Padang), situs itu dibaca sebagai daun beringin yang berguguran, tempat orang bercinta dan hantu-hantu. Puisi Aan Mansyur (yang menetap di Makassar) melakukan penyamaran antara metafor percintaan (dada sebagai tubuh perempuan-lelaki saling mencintai) dengan metafor wacana (dada sebagai tubuh-sejarah dan tubuh-pengetahuan). Wacana yang tersimpan dalam tubuh (lisan) dan bukan di luar tubuh (tulisan, buku, perpustakaan). Puisi Acep Zamzam Noor (yang menetap di Tasik Malaya) mengurai kembali romantik dari situs itu melalui kehidupan laut, pesisir, cinta, birahi sebagai situs yang kian kehilangan ruang maknanya dalam konteks kehidupan masakini, dan kemudian pecah sebagai balon rahasia.
Cover buku karya Afrizal Malna.
            Ada semacam tubuh-masakini yang memang tidak bisa bertemu lagi dengan situs benteng pada puisi-puisi mereka. Ketidak-bertemuan yang tersamar dengan pengalihan dan penolakan, lalu menyimpannya sebagai daun beringin yang berguguran dan sebagai hantu (Esha), sebagai buku dalam dada (Aan) dan sebagai balon rahasia (Acep). Ketidak-bertemuan yang menguatkan kembali masakini sebagai sebuah situs yang entah berada dimana di antara puisi-puisi mereka. Sebagai ruang pengelolaan makna, puisi memperlihatkan batas ideologisnya ketika kita mencoba membandingkannya dengan media lain, seperti video klip. Dalam video klip, situs seperti Benteng Fort Rotterdam itu bisa dicomot begitu saja sebagai latar, tidak perduli kaitannya dengan video yang sedang mereka buat. Media fotografi maupun video, bisa melewati begitu saja pembacaan ideologis terhadap situs-situs makna sebagai beban yang tidak perlu dipanggul. Bisa jadi, ketiga puisi di atas juga sudah berada dalam ruang ideologi seperti ini, beban makna dari ruang sejarah tidak seksi lagi (menggunakan istilah Acep dalam puisinya).
         Sementara pada puisi R. Timur Budi Raja, situs itu dalam puisinya berubah menjadi pengelolaan bahasa sebagai situs. Dia melakukan permainan bunyi melalui perimbuhan dalam bentukan sintaksis puisinya: di rerentak jejantung bangunan (untuk mengalami reruntuhan sejarah sebagai denyut jantung), dan si tua memakam (untuk mengalami sejarah sebagai makam yang diziarahi). Pada gilirannya situs dialami sebagai peristiwa ziarah melalui bahasa, di antara suara sirine dan badik yang telah dilempar ke laut dari seorang-aku yang datang hanya untuk menginap di sebuah kerinduan yang tertahan. Ada semacam situasi autis dari budaya bisu yang masih memisahkan pertemuan antara puisi dengan situs, sebagai masalah pengelolaan makna yang dilakukan terhadap situs itu (pemerintahan kota Makassar) dengan pengelolaan ruang makna yang dilakukan dalam puisi (penyair).
            Saya akan mengutip dua puisi lain untuk melihat perbandingan di sekitar puisi yang ditulis berdasarkan situs sejarah. Dua puisi ini masing-masing karya Seno Joko Suyono dan Raudal Tanjung Banua. Dua puisi ini menarik, karena masing-masing menulis tentang Karang Antu di Serang, Banten, dan ditulis pada tahun yang sama, 2014. Tampaknya kedua penyair ini telah melakukan berjalanan bersama dan menulis dengan latar situs yang sama:

Seno Joko Suyono
Pelabuhan Karang Antu, Serang

Ibuku adalah pelita dupa
dua hari lalu, ia melihat Kwan Im tergesa-gesa
dari klenteng menuju dermaga
berbelit syal halus Coromandel
ia mengenakan hiasan perut manik-manik Tamil

Melewati rumah-rumah walet
yang ludahnya diasinkan saudagar Benggala
ia berbelok melintasi tambak-tambak penyu pelaut Madagaskar
sekolah perikanan yang dibangun orang Pegu

Badannya semampai
putih, wangi
ia bicara bahasa Bugis

Dewi itu tertegun. Semuanya karatan
ombak gosong
pulau-pulau peti kemas
hilang

Ke mana syahbandar? bisiknya
mengapa jung-jung tak ada yang datang?
ibuku melihat Kwan Im menangis
dari matanya menetes mercusuar hitam
(Kompas, 16 Maret 2014)

Puisi-puisi Raudal Tanjung Banua
Karangantu
—bersama nidu

Dua rangka kapal baja
hitam berkarat
mencengkeram erat-erat
urat nadi muara
Air hitam. Langit hitam
menyulapnya diam-diam
jadi sepasang karang hantu
tegak menyeringai
dalam badai
menggentarkan karang batu
kejayaan lampaumu!
Di malam-malam tanpa bulan
—sayup sinar suar
ia menjelma bayang-bayang
sepasang istana. Hitam kelabu
digeret dari hulu
berderak sepanjang tepian
rumah-rumah kelam
Di lambungnya (atau ruang balairung)
kadang terdengar raung dan jerit pluit
yang tak kesampaian
Tapi lebih sering gemuruh
dan lecut cambuk
membangkitkan roh-roh pesakitan
yang sesiang hari, di bawah panas matahari, menitis
ke tubuh para pelaut malang
yang berkelit dari nasib
ranjau hitam kutukan.
Banten-Yogya, 2013-2014
(Koran Tempo, 18 Mei 2014)

Karang Antu merupakan pelabuhan penting setelah Sunda Kelapa, terutama setelah Malaka jatuh di tangan Portugis, 1511). Bagian dari sejarah Banten lama yang memfasilitasi transportasi perdagangan dari berbagai negeri (Cina, Arab, Australia maupun bangsa-bangsa Eropa dan pelaut-pelaut Bugis) dianggap sama besarnya dengan Amsterdam pada masanya, bersama dengan legenda yang menyertainya hingga disebut sebagai “karang hantu”. Tribunnews (7 Februari 2014), pernah memberitakan tentang laut di Karang Antu yang tiba-tiba surut 1 KM. Sebagai bagian dari peta ekonomi, politik, budaya, di Nusantara, daerah ini memiliki cukup banyak ruang makna untuk situs sejarah maupun geologi.
Seorang penyair yang mengalami semacam pertemuan puitik dengan situs-situs seperti Karangantu, memiliki dua mata yang bisa digunakannya: mata-kepenyairannya dan mata-sejarah. Manakala dia menggunakan mata-kepenyairan semata, sang penyair cenderung menggantungkan ruang maknanya kepada kata. Kata dibiarkan mendahului data. Kata sebagai template yang kehilangan ruang historisnya maupun pengalaman tubuh yang dialami penyair. Sementara kata lebih mendapatkan ruang maknanya dari data dan opini yang mengelilingi kata.
Dalam puisi Seno di atas, kita masih bisa mendapatkan makna puisi dari dalam maupun dari luar puisi. Dilakukan melalui pilihan nama maupun kata seperti Kwan Im, klenteng, dermaga, syal halus Coromandel, manik-manik Tamil, rumah-rumah walet, saudagar Benggala, tambak-tambak penyu pelaut Madagaskar, sekolah perikanan yang dibangun orang Pegu, bahasa Bugis, peti kemas, syahbandar, jung-jung, mercusuar hitamyang masing-masing membawa bayangan referennya yang terkait dengan keberadaan Karang Antu. Sementara pada puisi Raudal, makna ada di luar puisi. Pilihan kosa kata yang digunakan Raudal, seperti rangka kapal baja, badai, karang batu, kejayaan lampaumu, sepasang istana, rumah-rumah kelam, ruang balairung, jerit pluit, roh-roh pesakitan, panas matahari, para pelaut malang, ranjau hitamtidak cukup untuk menghadirkan referen dari dalam. Terutama karena pilihan diksi ini lebih berfungsi sebagai material dalam bentukan metafor yang dilakukan Raudal.
            Yang berlangsung dalam puisi Raudal tidak berbeda jauh dengan empat puisi sebelumnya yang menggunakan Benteng Fort Rotterdam sebagai latarnya, termasuk puisi Timur. Kita tidak bisa melakukan mobilisasi keluar dan masuk antara ruang makna di dalam dan di luar puisi. Mobilisasi atau transfer makna seperti ini masih bisa kita alami melalui puisi Seno. Ketergantungan penyair kepada kata, cenderung membuat puisi yang ditulisnya mengandaikan adanya makna tunggal antara penyair dan pembacanya. Sementara pembaca berada di luar puisi dan penyair berada di dalam puisi. Dua ruang ini merupakan medan makna dari bagaimana penyair mengelola makna dari momen puitik yang dialaminya: yaitu sebagai materi teks yang dialami tubuh-penyair pada satu sisi, pada sisi lainnya pembayangan referen yang bisa diakses pembaca. Tanpa melibatkan kedua dinding ini, puisi cenderung hadir sebagai “menjilat-jilat kata”. Istilah ini saya gunakan bukan dalam arti kualitas puisi. Karena puisi yang melibatkan bayangan referen juga tidak serta-merta menghasilkan puisi yang bisa kita anggap memenuhi kebutuhan pembaca untuk pendistribusian arti (sebagai peristiwa bahasa dalam puisi) dan makna (sebagai pengolahan referen) atas puisi yang dibacanya. Penggunaan referen dalam puisi, untuk sebagian penyair, mungkin memunculkan kecemasan di antara puisi yang berubah menjadi esai maupun puisi yang kehilangan esai.
Kumpulan puisi Timur Budi Raja (Opus) dibuka dengan puisi Lelaki-Lelaki Mithologi, ditulis tahun 1997, menjelang reformasi 98. Dan ditutup dengan puisi Setapak, ditulis tahun 2010 (13 tahun jaraknya dengan penulisan puisi pembuka). Puisi pertama dibuka dengan suasana heroik dari aku-lirik sebagai ”Lelaki-lelaki mithologi”: sosok kurus-kering, dada terbuka dan menyambut revolusi. Muncul narasi lain: lereng, payau tempat memancing ikan, hutan jati dan ladang madu, tempat sebuah komunitas masalalu menyimpan rahasia dan saling mengingatkan untuk sekali-kali menjenguk rahasia itu. Lalu sebuah isyarat: kelepak elang yang terdengar mengaduh di pegunungan yang jauh. Puisi kemudian ditutup dengan dua pesan: jangan menggambar bayang-bayang di tempat berteduh; dan, di pasar, di halte bus kota, di radio, di pelabuhan dan di kedai-kedai minum tempat orang menemukan dirinya sendiri, aku melihatmu datang dengan suaramu yang dulu.
Timur pernah bercerita di sekitar aktifitasnya menghadapi masalah budaya korupsi yang tumbuh di kotanya setelah reformasi dan setelah berlakunya otonomi daerah. Di antaranya rumahnya yang pernah ditembaki seseorang, setelah dia melakukan aktifitasnya melawan koruptor. Apabila puisi di atas dibaca melalui pengalaman budaya kekerasan yang dialami langsung oleh Timur, tampak bagaimana Timur telah melakukan ”penjinakkan referen” pada puisinya sebagai suaramu yang dulu: Suara dari kekuasaan yang korup dan manipulatif yang tetap berlangsung hingga kini. Penjinakan yang tampaknya berfungsi untuk tidak melakukan reproduksi kekerasan ke dalam puisi. Timur memperhitungkan identitas seperti ini dalam puisinya. Termasuk identitas ke-Madura-an yang telah terlanjur melekat pada ikon celurit. Dalam salah satu pembicaraan mengenai puisi-puisi Timur, Agus Hermawan menulis:

Sejumlah puisi itu seperti tak hendak menjadi Madura, menjadi Bangkalan. Ia tidak berpijak pada nafas sufistik yang banyak terdapat di lembaran kitab kuning. Pun, ia menolak kekerasan, menolak Madura dengan tradisi celurit dan carok-nya. Malahan memilih berteriak "ahimsa,...ahimsa"

(dikutip dari Itsna Hadi Saptiawan, Menyoal Opus 154: Pelangi di Langit Timur, http://bindo-stkiphamzanwadi.blogspot.de/2012/06/menyoal-opus-154-pelangi-di-langit.html).

            Reformasi tetap tidak bisa memberikan tempat untuk masakini. Tempat itu tetap melayang seperti elang, suara aduhan di pegunungan yang jauh, seseorang yang datang dengan suara yang sama, kemudian sebuah pesan yang tajam: jangan menggambar bayang-bayang di tempat berteduh. 13 Tahun kemudian:

SETAPAK
pada setapak dari sekian jejak,
mengeram diriku.

si sunyi itu
: yang membuat tanah jadi bertanda,
yang menyulam debu jadi batu,
yang menggumam belukar jadi rindu.

pada setapak dari sekian jejak,
sesuatu turun.
serupa marang cahaya yang santun,
memberiku tidur lebih putih.

pada setapak dari sekian jejak
yang memimpikan tidurmu,
tumbuh birahi

: muara dari pagi yang ranum.
Bojonegoro, 2010

Jejak setapak demi setapak, sedimentasi debu menjadi batu, belukar rindu, mimpi, muara dan birahi, merupakan pecahan-pecahan situs yang bisa dipunguti sebagai tempat “si sunyi” dari masakini dan masalalu bersamaan sebagai pecahan antaradiri yang mengeram dan muara dari pagi yang ranum. Kita akan mendapatkan pesona lain dari metamorfosis ruang yang dialami aku-lirik ini antara mengeram dan muara, jika puisi ditulis dalam struktur terbalik seperti ini: 

SETAPAK
: muara dari pagi yang ranum.

pada setapak dari sekian jejak
yang memimpikan tidurmu,
tumbuh birahi

pada setapak dari sekian jejak,
sesuatu turun.
serupa marang cahaya yang santun,
memberiku tidur lebih putih.

si sunyi itu
: yang membuat tanah jadi bertanda,
yang menyulam debu jadi batu,
yang menggumam belukar jadi rindu.

pada setapak dari sekian jejak,
mengeram diriku.

            Proses eksistensi melalui jalan setapak untuk mengerami diri, berlalu dan berakhir sebagai anti klimak pada muara (penutup puisi dari struktur sebelumnya). Proses sedimentasi dari jalan setapak, ke debu, batu dan berakhir pada muara. Tetapi ketika struktur ditempatkan terbalik, mengerami diri mendapatkan topangan sebagai proses eksistensi dari rincian pernik-pernik yang melatarinya. Aku-masakini yang tidak tahu berada dimana, dan menempatkan sejarah sebagai rahasia dalam balon (pada puisi Acep) dan sebagai dada yang tersembunyi dalam tubuh (pada puisi Aan), menghasilkan ruang makna yang bisa saling tertukar antara hulu dan hilir sebagai garis linier menjadi lingkaran berputar. Dan mengubah makna perjalanan horisontal menjadi ritual yang vertikal (muara sebagai pencapaian spiritualitas dan orgasme sekaligus). Perjalanan horisontal yang teralihkan menjadi perjalanan spiritual dengan warna birahi.
Jangan menggambar bayang-bayang di tempat yang teduh, seperti yang ditulis Timur dalam puisinya Lelaki-lelaki Mithologi, memperlihatkan figurisasi sekaligus tempat dimana aku-masakini yang melayang-layang itu menggerakkan ruang maknanya. Bahasa menjadi pusat tumpuan dari figurisasi itu, lalu mendapatkan ruang geraknya ke dalam maupun keluar. Menggambar bayang-bayang menghasilkan ilusi tentang sosok di luar bayangan. Ilusi itu membutuhkan wujud dan isi yang bisa membentuknya. Bahasa di sini menjadi tubuh-pertama yang digunakan untuk mewujudkan ilusi di luar bayangan. Yaitu dengan apa yang mau saya sebut sebagai “mengukir kata”. Berfungsi untuk semacam adanya kerja sintaksis maupun kerja semantik dalam puisi untuk mengantar makna keluar maupun kembali ke dalam puisi (biasanya disebut sebagai makna gramatikal). Bentukan kata sepertijejantung, memakam, ataulelampu, memainkan kata-tunggal sebagai kata-majemuk sambil menyembunyikan keberulangannya. Penulisan kata majemuk dalam bahasa Indonesia yang lajim dengan mengembarkan kata yang sama (jantung-jantung), diubah menjadi jejantung, lampu-lampu menjadi lelampu. Cara pembentukan kata majemuk yang mirip dengan bahasa Sunda (budak menjadi barudak untuk anak, dalam bahasa Indonesia menjadi anak-anak).
Bentukan kata jamak seperti yang dilakukan Timur itu, yang mirip dengan bentukan kata dalam bahasa Sunda, membuat kata seperti memiliki echo atau vibrasi yang membawa setiap kata benda dalam puisinya bergerak keluar dan kembali ke dalam puisi, karena ada semacam bentukan imbuhan yang membuat kata benda dalam puisinya juga bekerja sebagai kata kerja: makam sebagai kata benda menjadi memakam sebagai kata kerja, dan membawa kemungkinan membacanya sebagai proses ”menjadi makam”. Memakam menjadi sebuah tindakan atau proses menjadi, memperlihatkan ambiguitas yang rumit ketika puisi melakukan permainan imbuhan dalam penggunaan tata bahasanya sebagai makna gramatikal.
Timur merumuskan generasinya sebagai generasi yang lahir dalam peti mati, menjalani hidup dalam peti mati. Generasi yang mati sebelum mati: kami lahir di sini. di sini pula kami akan menekuni usia musti. dalam sebuah peti mati, sebelum mati (Dari Pintu Rumah Duka). Rumusan yang memang gelap, tetapi paling jelas untuk memulai sebuah dasar baru dalam membaca ruang makna yang melatari puisinya. Juga bisa dibaca sebagai generasi yang ”terbebaskan” dari kekuasaan makna yang berlangsung di luar peti mati. Generasi peti mati yang akan melahirkan bayi-bayi untuk tenggelam ke dalam laut.

NING
nelayan-nelayan tanpa tepi
tak juga berkemas dari kebiruan ini.
dari jemari coklat legam. menggapai
gapaiku ke dalam kekal pembicaraan.

persetubuhan kita, ning.
di situ berloncatan dari rahimmu
aroma ombak: bayi-bayi kita
yang menenggelamkan diri

ke laut.
Gresik, 1998

Puisi di atas memperlihatkan dua kamar yang masing-masing membangun narasinya sendiri. Kita tidak bisa berjalan di atas kemungkinan adanya jembatan antara masing-masing kamar: antara nelayan-nelayan tanpa tepi ke situasi persetubuhan. Kita harus melompat, dan tidak berjalan. Atau jembatan itu dihadirkan melalui metafor dari ombak sebagai laut dan ombak sebagai rahim aku-perempuan dalam puisinya. Ini pun dilakukan sebagai aroma ombak yang meloncat-loncat. Lompatan terakhir adalah laut, puncak dramatik dari generasi peti mati: bayi-bayi lahir untuk tenggelam ke dalam laut. Laut yang juga dibayangi sebagai jurang untuk melompat dan bukan laut untuk berenang atau menangkap ikan (hidup), melainkan untuk tenggelam (mati).

BIOGRAFI BIRU
demikianlah dunia memandanginya.
ia sampai pertama dengan sahaja. waktu menandainya sebagai kanak-kanak. angin sakal berhambur ke dadanya. sepatunya putih tak berdebu. ia suka berkisah kepada orang-orang di jalan tentang wajah-wajah yang ditemuinya mirip maria atau ibunya.           

ia seperti pelancong dengan sebingkai cermin,
senja di tangan. bertahun-tahun kemudian
saya jumpai riak-riak coklat memenuhi wajahnya.
juga bekas-bekas goresan luka memanjang
di sekujur tubuhnya.

ia lantas membuka kisahnya,    
“terlalu tua dulu dunia memandang sepatuku. tapi, kenangan itu sungguh biru. warnanya juga sepatu.”
Bangkalan, 2000

BIOGRAFI HITAM
cuma angin yang membisik masa lalu sesekali
sepoi saja. ia suka datang dengan wangi parfum itali.
seperti dulu, ia masih cantik. gaun dan sepatunya

tetap hitam. rambutnya lurus sebahu, parasnya
sungguh begitu bening menghadap ke pintu.

kami biasa bercakap tentang sejumlah rencana.
dan itu sebentar saja. lalu ia melambai,
meninggalkan penderitaan kecil untuk kenangan.

parasnya tiba-tiba jadi hitam jelaga.
ia bilang: kapan-kapan lagi ketemu.

tapi saya mengutuknya. menutup seluruh pintu
dan menyumpahi seluruh rencana.
Bangkalan, 2000

BIOGRAFI ASBAK KAYU
asbak dari kayu yang kau bikin kemarin,
tadi pagi masih begitu dalam mengendapkan kenangan,
ketika engkau sesahabat akrab sekali bercakap semalam.

tadi siang, asbak kayu itu terbakar juga jadi arang,
ketika engkau sesahabat saling mengokang senapan
dan bertikaman tatapan setajam mata pedang.
Surabaya, 2001

Tiga puisi yang menggunakan istilah biografi di atas, merupakan jejak-jejak identifikasi makna atas figurasi dari masakini yang tidak mendapatkan tempat berpijaknya, hingga ke generasi peti mati yang berlangsung dalam puisi-puisi Timur. Figurisasi yang menandai dirinya melalui masa kanak-kanak, sepatu tak berdebu, kemiripan, pelancong dengan cermin, lalu pindah ke bekas luka dan kenangan yang sudah jadi sepatu (Biografi Biru); figurisasi menggunakan harum parfum Itali, percakapan pendek, menghasilkan kenangan sebagai luka, lalu seluruh pintu harus ditutup sambil mengutuk setiap rencana (Biografi Hitam); gerak figurisasi ini kian fatal, menjadi asbak yang terbakar (Biografi Asbak Kayu). Ruang yang diidenfikasi untuk figurisasi ini juga berada dalam reproduksi yang sama: tanpa sadar, musim-musim mengantar kita ke sebuah muara: lanskap yang asing. akar-akarmenyerabuti benua-benua yang jauh, pohon-pohon beranjak menua, tugu-tugu retak,…..: “aku tak pernah tahu alamatmu” (puisi Odissey Terakhir); ia tersenyum menyukai keasingannya sendiri (puisi Soliloqium);  ke negeri-negeri sunyi sepatumu dibawa pergi (puisi Lanskap). Dan: aku tiba-tiba menjadi orang lain. menjadi orang-orang perjalanan, meninggalkan rumah dan suka berdiri di antara jalan bersimpang.
Puisi-puisi Timur dalam kumpulan ini, setelah menerbitkan Aksara yang meneteskan api (2006), masih menyimpan beberapa strategi lain yang tidak digarap pada puisinya yang lain. Seperti: kau kisahkan padaku tentang malam yang dibelah empat (Luh). Metafor puisi seperti ini bisa membawa ruang ”menggambar bayang-bayang” untuk menghasilkan ilusi tentang kenyataan  sebagai ilusi dalam bahasa. Menggunakan bahasa bukan sebagai yang masih membawa representasi realitas, melainkan sebagai realitas baru dalam puisi.
         Medan makna yang dihadapi generasi seperti Timur Budi Raja, tampaknya memang bukan lagi bergerak di sekitar lokalitas yang dalam puisi Timur tetap tertinggal sebagai enigma. Melainkan bagaimana melihat dan menempatkan masakini dari seorang-aku. Medan dimana sebuah era dari kehidupan sosial politik sedang menghancurkan puisi, tidak berbeda jauh dengan penghancuran makna dari generasi ke generasi. Dan Timur memilih ruang setapak dari jejak-jejak penghancuran itu untuk mengeram diri.Menempatkan diri bukan sebagai bagian dari agresi makna yang berlangsung di luar. bergerak sebagai generasi (peti mati) yang tidak lagi mengusung makna sebagai kekerasan. Menempatkan kembali puisi sebagai ruang dalam bahasa. Melihat masakini di luar teretori makna.***

Afrizal Malna, lahir   7 Juni 1957. Sastrawan, penulis, esais, penyair, aktor. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, esai sastra yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks pertunjukan teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara. Kekhasan karya Afrizal Malna adalah lebih mengangkat tema dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan gaya puitiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib