Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]



Lapar Itu Sepi

Sepi yang menyelami nyeri
di langit senja berawan
keresahan mencari kata baru untuk menjadi jalan

Asap, deru knalpot dan krikil rel gemetaran
sayang, ia bukan minuman penyangga lapar

Keringat mengelu dalam kaki
seluruh sudut jalanan memberontak mengajak perang 
laksana denting pedang di ruang badai

Angin, air mata dan sumber kesejukan menghantui
perawan-perawan bergoyang kemabukan
ketakutan, berlalu sebagai patahan sayap-sayap

Anak dalam gendongan terlihat melekat
di kening perempuan yang mengenang penguasa

Ini tanah air pengecut
dari bulu halus para tikus
merobek matahari bersama kelaparan

Tenggorokanku seakan menjadi ruang angin kematian
sebelum kupanggil kata puisi di mana tempat
kunikmati rasa yang berwarna masa

Tidak ada salahnya kau bermain di jiwaku
dan kuizinkan juga kau menangis bersamaku
untuk melangkahkan.
Yogya, 2014



Hujan Akhir Tahun

Merayap ke perkampungan membawa cerita duka
Sejuta tanda tanya, kepung jalanan kota
Lukiskan pesan pada dinding gedung perkantoran

Agar semua paham tentang aroma yang tak nyaman
Melukai waktu yang terus berjalan
Tentang sungai yang tak pernah bertanya


Aku Terima Kabar

Aku terima kabar dari tetangga
Di perkampungan desa
Ada banyak kata yang dijanjikan 
Rerumputan terasa sesak membaca namanya
Mabuk oleh gambar yang bergelantungan

Pada akhirnya kata-kata itu
Meski aku tagih tiada henti

Aku terima kabar
Awal hujan
Sebagai modal buat hanyutkan utang
Tidak jauh beda, layaknya bisikan setan


Nyanyian Angkringan

Di dalamnya telah tersaji setumpuk bungkus nasi
Peralatan buat meracik kopi
Asap yang setia menyelami dingin angin malam
Terkadang bergetar menyanyikan kerinduan

Hingga suara mesin pabrik memecah
Menjilati.
Padahal jarang badai dingin malam menegurnya

Pada tubuh dan sepasang matanya yang binar
Mengandung asap, kabut yang sendu


Tak Perlu Menangis

Sebab matahari setia terbit
sebagai tempat kita menatap semesta 
dan aku juga tak ingin pagi yang berawan ini menjadi hujan

biar air matamu tidak mengadu ke mana-mana
dari lukamu tidak diartikan sebagai luka dan lara
melainkan kelembutan dan kesejukan yang tertuang
di ke dalaman jiwa penyair.


Tentang Debu

Di ruang berselimut udara itu, terlihat
Titik-titik kerikil menjelma angin
Laksana gelombang yang runtuh

Menjadi hantu di musim yang baru
DI wajah-wajah kota.

Inikah sebuah awal cerita masa
Pada napas waktu yang tersisa

Sebelum akhirnya binasa


Purnama Akhir Tahun

Berhenti menempel pada bebatuan yang berlumut
Suasana cahaya negeri mendadak gaib
Ingin rasa aku menusuknya.


Kabar Hujan

Merayap keperkampungan  membawa cerita duka 
Sejuta tanda tanya
Lukiskan pesan pada dinding gedung perkantoran

Agar semua paham tentang aroma yang tak nyaman
Selama ini melukai waktu
Tentang sungai yang tak pernah bertanya.

Hariyono Nur Kholis: lahir di Sumenep, 21 Agustus 1992. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Komunitas Sastra Rudal Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib