Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Sumber lukisan: Nowjakarta.co.id



Mahar Pengantin

Kizib tergelincir dari sarang walet, cahayanya melilit cincin
yang sesocanya terbuat dari mata ibu. Dua pengantin
membuang muka, menombakkannya ke tubuh bapak di
kejauhan entah. Ia menyungkur sujud tiga tahun jarak sungai
serta jembatan-jembatan di udara. Hanya bekas suara
genggam karet yang menjadikannya ada. Menampakkan
wujudnya, mengharap kilau bulan tak hujan, luas langit tak
langkisau, beliung yang membinasakan. Sebab, mahar yang
ia janjikan lebih dulu menempel di pelaminan doanya, meski
sejauh matahari dan sumur merebut purnama
kedua-duanya.

Sumenep, 2014


Tentang Muserang dan Kado di Suatu Malam

Seperti udara, wajahmu tak terbaca. Tak ada bentuk dua
dasawarsa layar kubus yang kuwiridkan pada sunyi bulan
altar kegelapan. Bingkai yang memburam menjelma lumut
kaca membatasi ruang kita dengan jarak yang entah kurasa
makin mendekatkan pada leluhur, darah yang sama-sama
asin serta kerak tanah yang pepohonannya terbakar adalah
sketsa yang harus kau kekalkan di atas cakrawala pikiran.
Tak ada yang kutanggalkan selain doa dan air mata;
untukmu, ingin kusatukan cinta, antara mimpi hidup dan
mati.

Slopeng, 2014


Koade yang Menyerupai Bingkai Senja

Koade yang menyerupai bingkai senja itu mematutkan diri di
barat daya. Dua kuda poterran bermandikan perak diam-
diam bergerak ke ujung langit. Melenggak tepat pada ayu-
nan gong di sampingnya. Bulan celurit menempel di kedua
alisnya serupa naga dari utara. Sayup-sayup slendro tiga
timbul-tenggelam, penjung emas bergentayang.
Mengawinkan getir juga zikir pada semesta hilir.

Sumenep, 2014


Perawas

Ia mulai geraknya di gapura waktu setengah jalan bulan.
Biru kelir tersingkap ketika long membentaknya keluar. Lalu
tampaklah kepalanya terbakar samar kain kecubung.
Gongseng runtut membelah kejung slendro tiga tumpang
salam pada leluhur. Langit terpejam, menjelma sorot
sekebun rusuk bayang selendang pelataran. Seribu kicau
melekat pada topeng dirinya, merubah sukma saat tanda
dini menganjal fragmen zaman, tiruan yang melampaui
segala bentuk dongeng, kekal.



Homaedi lahir di Beluk raja Ambunten Sumenep 1991. Pencinta sastra sekaligus penikmat musik tradisional Madura.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib