TANDUK
merunduklah sodara. di atas atap
ada langit gelap. jika dilontarkan maka kejatuhan adalah sebuah jalan di sisi ranjang.
tembang kematian dibacakan seperti membaca garis tangan! di punggung jalan aku
berdiam. menyeruduk legam malam. namun aku tetaplah tubuh. aku yang terus bergentayangan.
menegak. menantang angin. menunjuk awan
“yang
berani pasrah pada angka nasib, menggulung garis langit dengan tangan menegak
ke langit.”
lantas tubuhnya mengejangngejang.
sebuah kata ghaib memasuki kakinya. engkau melipat jimat, merapal mantra sungsang
dengan mata terpejam. degub jantung, derung motor, debur gelombng, rengkah
tanah, menajamkan mataku. melancipkan semua yang tumbuh. telunjuk melurus
kepada muka. bukan mencari salah pada apa yang mengalirkan darah –darah
mengguyur seperti hujan di tengah musim— dan orang-orang dengan muka ditekuk
merengek. Tangannya diangkat menegak ke langit juga. engkau seperti aku berdiam
di sisi ranjang.
aku kembali merunduk, terduduk.
melipat jimat. dan dalam khidmat: ada yang terus menegak di kepalaku. seperti
tulang tajam. atau runcing. atau takdir yang ditanamkan.
“merunduklah! memasuki tubuhmu
sendiri. agar jika serangan itu sudah datang. mukamu tak luka, tubuhmu terus
menegak seperti pancang. pancang yang membawa tampar dan menyeret orang-orang
agar ikut menegak. kami bersama memandang jalanan, mengendus tanah. takdir yang
dinyanyikan dengan katakata panjang.
“merunduklah!
serangan itu sudah datang!”
sumenep, 2012
BANGKAI SUNGAI
yang terus hidup dalam diriku
adalah sungai. sungai yang terus mengalir seperti ular. meliuk-liuk membentuk
lekuk tubuh. tubuh yang besar. semakin besar memenuhi ruang waktu, dan rumah
dicor tinggi seperti bendungan. bergalongalon air yang mengalir menyembur.
membasahi semua yang di daratan. lumut dan ganggang berayunayun mengambang.
seperti kapal. yang besar dari badai. seluruh tubuhku adalah sungai. sungai
yang kini diam. diam sebagai batu-batu. diam sebagai bangkai. menyuntuki bulan
dengan tatapan sedih. aduh, dalam
ketenggelaman aku merindukan tangan. dan tangan menggapaigapai berjejal di
pengap tanah. dan tanah mengepulkan asap. asap wangi dari kemenyan kakek. di
tengah teras kakek terus menghitung purnama dan bulan sepenuhnya pucat tembaga.
“pada garis itu, segalanya
digantungkan”.
sebagai sungai. sungai yang
mengeras diam. tubuhku tibatiba lurus. menunjuk dirimu. dirimu yang terus
berbicara dengan bulan. meluruskan jalan dengan cahaya di kaca. seolah menjaga
setiap lekukan agar lepas. engkau mengangkat tangan menyangga kepala. matamu
lurus padaku. padaku yang bertengger di bulan. menggenggam parang dengan tangan
gemetar. bukan menunggu waktu. bukan cahaya yang ditebaskan. aku yang diam
seperti sungai. melurus segala yang meliuk sebagai kejahatan.
“jangan, jangan percaya cahaya
yang jatuh. selebihnya itu adalah jalan kepulangan”.
aku adalah sungai. seperti kau
bangkai!
sumenep, 2012
PENDULUM HENING
hyang,
di sini waktu tak lagi diperlukan…
ia bergoyang di antara lelap dan
senyap; sesepi percakapan di beranda sat tengah malam. tak ada gema. hanya
denging sunyi yang tajam menyilet dada. tibatiba ada yang mengembang serupa
antariksa. jejeran planet yang membuat arus lain dari yang tak terkata. tung, kepalaku menoleh ke kanan.
kepalamu ditarik ke belakang, arah berubah ke selatan. waktu berayun membentuk
razi bintang. lingkaranlingkaran cahaya berbentuk cincin. di tengahnya suara
memantulmantul seperti gemuruh lonceng wahyu: didengar dan dilupakan!
pada setiap gemuruh; aku dan kamu
duduk saling membelakangi. dinding waktu tebal memisahkan setiap tatapan kita.
bagai beban yang menggandul di punggung seperti pendulum memantulmantulkan
leher kita. membuat kita selamanya diam. dan, “tak ada yang perlu
dipertengkarkan, semua kejadian adalah permulaan.” demi, yang berputar
mengelilingi matahari. aku dan kamu menarik kepala tengadah. mata terpejam. di
langit planet menunjuk puzzle
terusirnya adam-hawa berserak bersedekuh pada sebuah pohon, tepatnya suara
pohon dari beribu mulut.
kun!
amin!amin!
untuk sesuatu yang datang!
hyang,
dari goyangan yang terus berulang, hidup selalu
diperbarui. dan sesekali kita ucapkan selamat tinggal pada atapatap seng rumag.
menyapa tiang lampu di kelokan tubuhmu. seperti membuat simulasi kupukupu lorenz dan berandaiandai sebuah rumah di
surga. seperti sebuah tali yang siap mengangkatmu ke langit. sedang dari ujung
dunia, lelaki anonim menancapkan tonggak seperti mengulang dengung sebagai
kesedihan. kemudian mereka serentak bergumam; seribu lebah di putik hatimu
berzikir, daundaun bergerak tanpa lelah. aku terus berpikir sebagaimana
menggambar planetplanet dari folklor,
siapa yang menyuruh?
hyang,
jika pada denyut sunyi ini semesta berputar. maka
aku adalah sunyi yang bergoyang ke kiri kananmu!
sumenep, 2011
Mahendra, Lelaki kelahiran sumenep madura dengan nama lahir
Mahendra Cipta, sempat singgah di Yogyakarta dan menyelesaikan S1 pada jurusan Theology
dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Bergiat pada aktivitas-aktivitas lingkungan
hidup, sosial, budaya dan kesenian. Pernah bergiat di beberapa kelompok kesenian; Teater
Eska Yogyakarta, Rumah Arus Community Yogyakarta, SPPY (Sindikat Penyair
Pinggiran Yogyakarta), Krikil Freelance, Therminal Kuman Experimente De
Arte. Di tengah kesibukannya membina sanggar-sanggar pesantren dan
sekolah-sekolah dengan kekawan mencoba membangun jaringan kesenian dengan Taneanlanjhang
Culture-Art Exebition. Sebab ia percaya seni lahir dari keseharian yang
remeh temeh. Selain sebagai pemulung (penyuka teater, tari dan musik), dia juga
menulis naskah teater, essai, artikel dan puisi dan sebagai aktor dan sutradara
dalam banyak pertunjukan. beberapa puisinya dimuat dalam antologi bersama; Ketika
Pinggiran Menggugat (Yogya, 2003), Atjeh, Kesaksian Penyair (Yogya,
2005), Nemor Kara (Balai Bahasa Surabaya, 2006) dan antologi puisi
mutakhir Jatim: Pasar yang Terjadi Malam Hari ( Dewan Sastra Sby, 2008).
antologi puisi Festival Bulan Purnama Majapahit (DK Mojokerto 2010), Dzikir Pengantin Taman Sare (Bawah Pohon
Publishing 2010), dan Hijrah (Sanggar Bianglala, 2011). Diundang dalam TSI-4 Ternate Maluku Utara,
dan terkumpul dalam antologi Tuah Tara No Ate (2011). April 2012; sambil
menyiapkan sebuah pementasan teater Language Theatre Indonesia “Negeri yang Bergandul Potongan Kuping”
(keliling 3 kota) juga di undang dalam Festival Penyair Indonesia Internasional
(FPII). Selain sebagai ket. Komite Teater Dewan Kesenian Sumenep (DKS), ia juga
sering jalan-jalan keluar kota membangun jaringan untuk Language Theatre
Indonesia.
Om, saya mau tanya tentang puisi DAN SEBUAH PISAU MASALALU TERTANCAP. Makna dan tujuan puisi tersebut apa?
BalasHapusTolong bantu jawab!
HapusOm, saya mau tanya tentang puisi DAN SEBUAH PISAU MASALALU TERTANCAP. Makna dan tujuan puisi tersebut apa?
BalasHapus