Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]





TANDUK

merunduklah sodara. di atas atap ada langit gelap. jika dilontarkan maka kejatuhan adalah sebuah jalan di sisi ranjang. tembang kematian dibacakan seperti membaca garis tangan! di punggung jalan aku berdiam. menyeruduk legam malam. namun aku tetaplah tubuh. aku yang terus bergentayangan. menegak. menantang angin. menunjuk awan

“yang berani pasrah pada angka nasib, menggulung garis langit dengan tangan menegak ke langit.”

lantas tubuhnya mengejangngejang. sebuah kata ghaib memasuki kakinya. engkau melipat jimat, merapal mantra sungsang dengan mata terpejam. degub jantung, derung motor, debur gelombng, rengkah tanah, menajamkan mataku. melancipkan semua yang tumbuh. telunjuk melurus kepada muka. bukan mencari salah pada apa yang mengalirkan darah –darah mengguyur seperti hujan di tengah musim— dan orang-orang dengan muka ditekuk merengek. Tangannya diangkat menegak ke langit juga. engkau seperti aku berdiam
di sisi ranjang.

aku kembali merunduk, terduduk. melipat jimat. dan dalam khidmat: ada yang terus menegak di kepalaku. seperti tulang tajam. atau runcing. atau takdir yang ditanamkan.
“merunduklah! memasuki tubuhmu sendiri. agar jika serangan itu sudah datang. mukamu tak luka, tubuhmu terus menegak seperti pancang. pancang yang membawa tampar dan menyeret orang-orang agar ikut menegak. kami bersama memandang jalanan, mengendus tanah. takdir yang  dinyanyikan dengan katakata panjang.

“merunduklah! serangan itu sudah datang!”

sumenep, 2012


BANGKAI SUNGAI

yang terus hidup dalam diriku adalah sungai. sungai yang terus mengalir seperti ular. meliuk-liuk membentuk lekuk tubuh. tubuh yang besar. semakin besar memenuhi ruang waktu, dan rumah dicor tinggi seperti bendungan. bergalongalon air yang mengalir menyembur. membasahi semua yang di daratan. lumut dan ganggang berayunayun mengambang. seperti kapal. yang besar dari badai. seluruh tubuhku adalah sungai. sungai yang kini diam. diam sebagai batu-batu. diam sebagai bangkai. menyuntuki bulan dengan tatapan sedih. aduh, dalam ketenggelaman aku merindukan tangan. dan tangan menggapaigapai berjejal di pengap tanah. dan tanah mengepulkan asap. asap wangi dari kemenyan kakek. di tengah teras kakek terus menghitung purnama dan bulan sepenuhnya pucat tembaga.

“pada garis itu, segalanya digantungkan”.
sebagai sungai. sungai yang mengeras diam. tubuhku tibatiba lurus. menunjuk dirimu. dirimu yang terus berbicara dengan bulan. meluruskan jalan dengan cahaya di kaca. seolah menjaga setiap lekukan agar lepas. engkau mengangkat tangan menyangga kepala. matamu lurus padaku. padaku yang bertengger di bulan. menggenggam parang dengan tangan gemetar. bukan menunggu waktu. bukan cahaya yang ditebaskan. aku yang diam seperti sungai. melurus segala yang meliuk sebagai kejahatan.
“jangan, jangan percaya cahaya yang jatuh. selebihnya itu adalah jalan kepulangan”.

aku adalah sungai. seperti kau bangkai!

sumenep, 2012


PENDULUM HENING
hyang, di sini waktu tak lagi diperlukan…

ia bergoyang di antara lelap dan senyap; sesepi percakapan di beranda sat tengah malam. tak ada gema. hanya denging sunyi yang tajam menyilet dada. tibatiba ada yang mengembang serupa antariksa. jejeran planet yang membuat arus lain dari yang tak terkata. tung, kepalaku menoleh ke kanan. kepalamu ditarik ke belakang, arah berubah ke selatan. waktu berayun membentuk razi bintang. lingkaranlingkaran cahaya berbentuk cincin. di tengahnya suara memantulmantul seperti gemuruh lonceng wahyu: didengar dan dilupakan!

pada setiap gemuruh; aku dan kamu duduk saling membelakangi. dinding waktu tebal memisahkan setiap tatapan kita. bagai beban yang menggandul di punggung seperti pendulum memantulmantulkan leher kita. membuat kita selamanya diam. dan, “tak ada yang perlu dipertengkarkan, semua kejadian adalah permulaan.” demi, yang berputar mengelilingi matahari. aku dan kamu menarik kepala tengadah. mata terpejam. di langit planet menunjuk puzzle terusirnya adam-hawa berserak bersedekuh pada sebuah pohon, tepatnya suara pohon dari beribu mulut.
kun!

amin!amin! untuk sesuatu yang datang!

hyang, dari goyangan yang terus berulang, hidup selalu diperbarui. dan sesekali kita ucapkan selamat tinggal pada atapatap seng rumag. menyapa tiang lampu di kelokan tubuhmu. seperti membuat simulasi kupukupu lorenz dan berandaiandai sebuah rumah di surga. seperti sebuah tali yang siap mengangkatmu ke langit. sedang dari ujung dunia, lelaki anonim menancapkan tonggak seperti mengulang dengung sebagai kesedihan. kemudian mereka serentak bergumam; seribu lebah di putik hatimu berzikir, daundaun bergerak tanpa lelah. aku terus berpikir sebagaimana menggambar planetplanet dari folklor, siapa yang menyuruh?

hyang, jika pada denyut sunyi ini semesta berputar. maka aku adalah sunyi yang bergoyang ke kiri kananmu!

sumenep, 2011


Mahendra, Lelaki kelahiran sumenep madura dengan nama lahir Mahendra Cipta, sempat singgah di Yogyakarta dan menyelesaikan S1 pada jurusan Theology dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Bergiat pada aktivitas-aktivitas lingkungan hidup, sosial, budaya dan kesenian. Pernah bergiat di beberapa kelompok kesenian; Teater Eska Yogyakarta, Rumah Arus Community Yogyakarta, SPPY (Sindikat Penyair Pinggiran Yogyakarta), Krikil Freelance, Therminal Kuman Experimente De Arte. Di tengah kesibukannya membina sanggar-sanggar pesantren dan sekolah-sekolah dengan kekawan mencoba membangun jaringan kesenian dengan Taneanlanjhang Culture-Art Exebition. Sebab ia percaya seni lahir dari keseharian yang remeh temeh. Selain sebagai pemulung (penyuka teater, tari dan musik), dia juga menulis naskah teater, essai, artikel dan puisi dan sebagai aktor dan sutradara dalam banyak pertunjukan. beberapa puisinya dimuat dalam antologi bersama; Ketika Pinggiran Menggugat (Yogya, 2003), Atjeh, Kesaksian Penyair (Yogya, 2005), Nemor Kara (Balai Bahasa Surabaya, 2006) dan antologi puisi mutakhir Jatim: Pasar yang Terjadi Malam Hari ( Dewan Sastra Sby, 2008). antologi puisi Festival Bulan Purnama Majapahit (DK Mojokerto 2010), Dzikir Pengantin Taman Sare (Bawah Pohon Publishing 2010), dan Hijrah (Sanggar Bianglala, 2011). Diundang dalam TSI-4 Ternate Maluku Utara, dan terkumpul dalam antologi Tuah Tara No Ate (2011). April 2012; sambil menyiapkan sebuah pementasan teater Language Theatre Indonesia “Negeri yang Bergandul Potongan Kuping” (keliling 3 kota) juga di undang dalam Festival Penyair Indonesia Internasional (FPII). Selain sebagai ket. Komite Teater Dewan Kesenian Sumenep (DKS), ia juga sering jalan-jalan keluar kota membangun jaringan untuk Language Theatre Indonesia.

3 komentar:

  1. Om, saya mau tanya tentang puisi DAN SEBUAH PISAU MASALALU TERTANCAP. Makna dan tujuan puisi tersebut apa?

    BalasHapus
  2. Om, saya mau tanya tentang puisi DAN SEBUAH PISAU MASALALU TERTANCAP. Makna dan tujuan puisi tersebut apa?

    BalasHapus

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib