Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

Oleh: Iqbal Nurul Azhar

A. Pendahuluan
Untuk memahami makna dan hakikat kebudayaan, Koentjaraningrat dalam Chaer dan Agustina (1995) terlebih dahulu mendefinisikan apa yang disebut dengan “kerangka kebudayaan.” Kerangka kebudayaan inilah yang menjadi landasan dari pemberian makna dan hakikat dari kebudayaan. Dalam teorinya, Koentjaraningrat membagi kerangka kebudayaan ke dalam dua aspek yaitu:
(1) wujud kebudayaan, dan (2) isi kebudayaan. Wujud kebudayaan dapat berbentuk absurd seperti gagasan dan perilaku atau berbentuk nyata seperti bentuk-bentuk fisik atau benda. Ketiga wujud yang berupa bentuk fisik, gagasan dan perilaku ini secara berurutan disebutnya juga sebagai: (a) sistem budaya yang bersifat abstrak (gagasan) (b) sistem sosial yang bersifat agak konkret (perilaku), dan (c) kebudayaan fisik yang bersifat sangat konkret (bentuk fisik). Sedang isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat terbagi ke dalam tujuh unsur yang bersifat universal yaitu: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
Sumber Foto: pusatbahasaalazhar.wordpress.com



Bertolak dari pemikiran Koentjaraningrat di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa bahasa yang di dalamnya terdapat kesusastraan, merupakan bagian integral dari kebudayaan dan merupakan unsur penting dari kebudayaan itu sendiri. Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan.
Nababan (1991:50) mengemukakan bahwa bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, setidaknya dengan cara memberi nama atau istilah bagi unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih dari itu, kebudayaan manusia tidak akan terjadi tanpa adanya bahasa, karena bahasa merupakan faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Bahasa sebagai representasi kebudayaan menyebabkan kosa kata yang berkembang dalam suatu kebudayaan sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi budayanya.

Di antara beragam bahasa daerah yang ada di Indonesia, bahasa Madura merupakan salah satu bahasa daerah yang terhitung besar. Hal ini disebabkan karena jumlah penuturnya berada dalam posisi keempat setelah penutur Jawa, Melayu, dan Sunda. Penutur bahasa ini diperkirakan berjumlah lebih dari 7% dari keseluruhan populasi bangsa Indonesia. (Wikipedia, 2006). Dewasa ini, sekitar tiga hingga empat juta orang penutur bahasa Madura mendiami pulau Madura, sedang sisanya, sebanyak sembilan hingga sepuluh juta orang Madura tinggal di Jawa. Kantong penutur bahasa Madura juga dapat dijumpai di Jakarta, Kalimantan, dan Sulawesi. (PJRN: 2006).

Diakuinya bahasa Madura sebagai bahasa yang besar tidak hanya disebabkan oleh jumlah penuturnya yang besar, namun bahasa ini juga memiliki beberapa pendukung lain seperti bentuk tatabahasanya yang sempurna dan sastranya yang kaya. Corak sastra Madura memiliki kesamaan dengan corak sastra Jawa yang secara nasional tidak diragukan lagi ketinggiannya. Kesamaan bentuk maupun warna ini tidaklah mengherankan mengingat suku Madura memiliki ikatan historis yang cukup dekat dengan suku Jawa dimasa lampau.

Pembicaraan tentang jumlah penutur dan tata bahasa Madura sangat menarik untuk dilakukan. Namun karena dua topik ini berada di luar lingkar diskusi kebudayaan (jumlah penutur masuk dalam diskusi sosiologi, dan tata bahasa masuk ke dalam diskusi linguistik), maka diskusi makalah ini hanya akan mengangkat aspek yang ketiga yaitu sastra Madura yang menjadi unsur pendukung kebudayaan.

Untuk memudahkan diskusi tentang sastra Madura ini, maka makalah ini dipandu oleh empat pertanyaan mendasar yaitu: (a) Bagaimanakah wujud sastra Madura? (b) Bagaimanakah potensi sastra Madura dalam memajukan sastra dan budaya nasional (c) Bagaimanakah tingkat apresiasi masyarakat Madura terhadap sastra Madura? (d) bagaimanakah strategi mempertahankan sastra Madura? Pada intinya, artikel ini berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut.

B. Wujud Sastra Madura
Sastra Madura penuh dengan pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran. Di masa lampau sastra lisan maupun tulisan madura sangat diminati oleh masyarakat baik itu dari kalangan rakyat jelata maupun kalangan elit atau bangsawan. Sastra Madura disukai karena dengan inilah rakyat madura dapat mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral, gejolak hati, maupun ajaran agama. Orang Madura yang dikenal memiliki karakter keras dalam menjalani hidup, selalu maju menantang kondisi yang keras, ternyata dalam kehidupan sehari-harinya masih memiliki waktu untuk menciptakan dan mendendangkan sastra–sastra. Kondisi geografis Madura yang panas dan dikurung oleh ombak lautan yang garang, memberikan pengaruh yang kuat terhadap bentuk-bentuk sastra dan pesan moral yang ada dalam sastra-sastra orang Madura. Kebanyakan, karya sastra-satra orang Madura dipenuhi dengan motivasi, pesan ajaran yang ketat.

B.1. Sastra Madura Populis
Disebut Populis karena sastra Madura jenis ini dikenal luas oleh segenap lapisan masyarakat Madura. Setiap orang Madura asli akan dengan jelas mengenali bentuk-bentuk sastra ini
Contoh dari sastra Madura populis adalah dungngeng (dongeng). Dungngeng adalah cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan moral dan harapan. Dungngeng ini sering didendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan bahkan dalam keluarga. Dungngeng ini merupakan bingkai dari kisah-kisah kehidupan masyarakat Madura di masa lampau. Beberapa dungngeng Madura yang terkenal adalah dungngeng kepahlawanan pangeran Tronojoyo, Potre Koneng, Asal muasal kerapan sapi, Sakera, Ke’ lesap, Angling Darma Ambya Madura, dll.

Contoh yang kedua dari sastra populis adalah syi’ir. Syi’ir merupakan rangkaian kata-kata indah yang membentuk kalimat-kalimat yang terpadu dan biasanya syi’ir ini di baca di pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. Si’ir Madura tersusun dari 4 padda/biri (baris). Tiap padda terdiri dari 10 keccap (ketukan). Tiap akhir suara pada padda mengandung pola a – a – a – a. Isi syi’ir bermacam-macam, bergantung dari selera dan kesenangan serta tujuan dari pembuatnya. Jenis-jenis syi’ir beraneka ragam seperti syi’ir yang menceritakan kisah nabi, cerita orang mati siksa kubur, perhatian pada pendidikan, agama atau akhlak. Contoh-contoh syi’ir adalah sebagai berikut:

Pong-pong gi’ kene’ gi’ ngodha-ngodha
Pabajeng nyare elmo akida
Manabi nyaba dhapa’ gan dhadha
Kastana ampon bi’ tadha’padha

Terjemahan:
Mumpung masih kecil masih muda-muda
Rajinlah mencari ilmu akidah
Apabila nyawa telah sampai di dada
Menyesalpun tidak akan ada manfaatnya

Mayyidda nanges e dhalem kobur
Enga’ odhi’na gabay ta’ lebur
Lemang baktona lakona kendhur
Seksana kobur patang kajendhur

Terjemahan:
Mayatnya menangis di dalam kubur
Mengingat hidupnya berbuat buruk
Liwa waktunya dikerjakan asal
Siksa kubur silih berganti

E dhalem kobur tako’ parana
Enneng kadibi’ tadha’kancana
Bannya’ amal se ta’ katarema
Amarga bangal ka reng towana

Terjemahan:
Di dalam kubur takut sekali
Tinggal sendirian tidak ada teman
Banyak amal yang tidak diterima
Karena berani pada orangtuanya

Dungngeng dan syi’ir secara umum sering dijumpai keberadaannya dalam masyarakat. Hal tidaklah aneh mengingat hubungan kekerabatan masyarakat Madura dan jiwa relijius mereka masih sangat kuat dan kental sehingga tingkat interaksi sosial dan kegiatan relijus mereka masih tinggi. Tingginya tingkat interaksi sosial dan seringnya diadakan kegiatan relijius seperti pengajian dan perayaan-perayaan agama, maenyebabkan kesempatan penyampaian sastra jenis ini menjadi semakin besar pula. Karena sifatnya yang umum dan tumbuh berkembang bersama tradisi-tradisi populis yang ada di pulau Madura inilah, maka kadang sastra jenis ini disebut sastra primer.

B.2. Sastra Madura Partikularis
Jenis sastra yang kedua adalah sastra Partikularis (tertentu/tidak umum). Pembagian sastra jenis ini sebenarnya tidak perlu ada andaikata masyarakat Madura masih tetap mempopulerkan sastra jenis ini dan menampilkannya secara rutin di masyarakat luas. Sastra Madura Partikularis adalah sastra Madura yang dikenal hanya oleh beberapa lapis masyarakat dan biasanya oleh generasi tua. Karena jarang ditemuinya sastra jenis ini, maka sastra jenis ini disebut sebagai sastra arkhais. Sastra jenis ini memiliki ragam, jenis, pola-pola atau aturan-aturan tertentu dan harus diingat dengan baik. Syarat mengingat dan memahami pola-pola inilah yang dinilai sangat berat bagi para generasi muda untuk dilakukan, sehingga banyak diantara mereka yang enggan untuk mempertahankan dan mempraktekkan sastra jenis ini. Akibatnya, tidak banyak orang Madura yang memahami sastra jenis ini, padahal, keberadaan sastra jenis ini benar-benar mendukung kebesaran bahasa Madura. Adapun sastra jenis ini adalah: (a) Bangsalan (b) Puisi Pantun Madura (c) Paparegan (d) Saloka, dan (e) Tembhang Macapat.

Tulisan ini dipulikasi oleh penulis di:
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/artikel-sastra/sastra-madura-potensi-budaya-yang-mulai-terabaikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib