Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

lukisan diambil dari Google. Kata kunci "Lukisan Hujan".

Musim Hujan

Ini musim hujan
Rumput-rumput pada tumbuh
Kuintip awal mula penciptaan
Betapa segalanya masih teduh

Langit tidak jadi runtuh
Karena hujan masih bisa bernyanyi
Lalu dukalara dunia kubasuh
Di telaga pagi dan hening hari

Maka menarilah wahai istri
Di ujung senja yang menuju kelam
Meski palu-palu itu tetap tuli
Biar nyalang batinmu tak makin temaram

Pada Hujan

Pada hujan yang menyelinap ke rumahku
Ada sepucuk surat dititipkan guruku:
Masih dalam ingatanmukah kisah budi?
Juga baris-baris tentang kerbau pak madi?

Lalu benang-benang hujan bermetamorfosis
Menjelma bunga-bunga paling narsis
Sedang musim yang dulu jadi sembilu
Dari dalamnya menyeruak wangi narwastu

Jarum-jarum hujan tidak pernah lelah
Mengantar bunga salju ke pintu rumah
Ada kenangan manis di kebun waktu
Saat bermain tekateki dengan Tuhanku
Banjir

Kenapa hujan memperanakkan banjir?
Karena dam hati ambrol dan nyinyir
Hingga pohon-pohon terkulai di kerak waktu
Dan bayang-bayang firdaus menjadi beku

Banjir yang semakin gila
Menarik bocah ke dalam igaunya
Tangis yang ditahan itu lalu pecah
Tak kuat menanggung zaman serakah

Betapa nikmat tertawa oh bunda
Saat matahari membeku di luar kemah
Biar topan semakin beringas oh bunda
Ruh kita tak terkepung di rumah-rumah
Sehabis Hujan

Sehabis hujan reda
Anak-anak berkejaran di halaman
Mencium bau tanah yang renta
Dan hidup yang penuh tikungan

Di ujung rambut mereka
Bunga-bunga bermekaran
Pelangi yang berdansa dengan seroja

Pindah ke atas meja jadi hidangan
Ibu saksikanlah
Anakmu yang telah lahir kembali
Sungguh hati sangat berbuncah
Digerus waktu tak pernah mati
Guyuran Hujan

Di tengah guyuran hujan
Berloncatan jua api-api cinta
Dan bidadari yang menawan
Bergegas memikul bianglala

Aduhai sungguh tercabik jiwa
Aduhai sungguh membara rindu
Dan ketika kenangan musnah di angkasa
Segala sesuatu muncul sebagai rupamu

Maka kususuri awal mula
Saat semua rupa masih sembunyi di muara
Ternyata yang aneka adalah satu
yang berpendar-pendar dari wujudmu
Hujan Dinihari

Pada hujan yang menari dinihari
Malaikat-malaikat memanggilku
Dari luar waktu

Aku menjenguk ke luar jendela
Sembilan puluh sembilan bunga tumbuh
Di sebelah barat waktu subuh

Lalu angin bertakbir seratus kali
Tujuh lapis langit jadi merendah
Dan lautan debu bersorak sambil tengadah

Oh hujan dinihari yang membara
Mari kuantar engkau ke hulu
Untuk melayarkan perahu-perahu rindu
Hujan Habis Subuh

Sehabis subuh hujan belum reda
Jarum-jarumnya menggali perigi dalam jiwa
Yang memancar bukan mataair saja
Tapi juga matahari dan bunga seroja

Matahari memenuhi janjinya
Membakar kabut paling dungu di timur sana
Tanda bahwa tunas-tunas akan tumbuh
Dan musim palawija menghampar jadi suluh

Ohoi cintaku padamu makin menyala adik
Menjelma hamparan musim paling purba
Kupu-kupu di rambutmu menari-nari adik
Siapa bilang cinta mengenal tua?

Sewon, 2014

Kuswaidi Syafiie, penyair juga esais. Buku antologi puisinya adalah “Tarian Mabuk Allah”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) dan “Pohon Sidrah” (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001). Sedang kumpulan esainya adalah “Tafakur di Ujung Cinta” (Pustaka Pelajar, 2003) dan “Sepotong Rindu untuk Kanjeng Nabi” (Pustaka Pelajar, 2005). Kini mengasuh PP. Maulana Jalaluddin Rumi, Sewon, Bantul-Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib