Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Sumber: Rebecca Finch: Paintings of Simple


Kinanti Potre Koneng

laut bergema, bukit-bukit bersiul
bayi perempuan lahir di keraton benasare
wajah rubaru berdandan kuning, pulau madura
berseru haru;
“kusambut engkau potre koneng, anakku!”

angin di lembah-lembah dangkal
menyemarakkan kelahiran bayi bermata bening kartika
nafas pertamanya segarkan udara
nafas pemantik sejarah panjang madura-jawa
aduhai lembut kulit kuningnya yang pualam

burung-burung musim padi dan tembakau menari
di cakrawala
bernyanyi dengan tiupan suling gembala
dan usia telah menjadikannya raden ayu di istana

kini telah remaja ia, liontin gemerlapan
di leher pulau madura
telah siapkah ia dipinang ksatira perkasa
saat ayah-bunda memimpikan cucunda

gema laut bergelegar, siulan bukit melingking
kicau burung-burung ladang menembang
mengisi relung hasrat sang raja di istana
memantra isi dada ibunda di ranjang sukacita

saat wajah musim berdandan di kaca benggala
potre koneng selesai merias diri
beranjaklah ia ke hadapan ayah bunda
“gerangan apakah ayahanda dan ibunda
memanggil saya yang baru lepas masa remaja?”
angin berhenti, istana hening sesaat langit biru membening
hati potre kening dingin saat ayahanda sampaikan ingin:
“putriku yang didewasakan alam madura
tibalah saatnya kau berumah tangga
lelaki macam apa yang engkau tambatkan cinta?”

“ampun beribu ampun ayahanda
tiada hamba menolak dari hati setia
atas itikad luhur yang tiada celaka
sungguhlah hamba yang belum siap sedia
duduk di pelaminan sakral dan bina keluarga
apalah daya hati hamba takut buat ayahanda kecewa
serta menggores hati ibunda menjadi luka
maka izinkalah hamba merenungkan daya cipta
semusim di goa pajudan demi niat suci di dada”

berlinanglah mata air dari kelopak mata
si cantik jelita, lembablah tanah susur dilembah
lenturlah bukit-bukit sukar menuju goa pajudan
usai izin diberikan meski kengerian tampak nyata
berangkalah si putri berkulit pualam
bersama kecupan musim yang diberkahi semesta

di relung goa pajudan, potre koneng bertapa
tiada air sentuh bibir, tiada nasi dan buah sentuh lidah
tiada tidur memeluk hati dan pikirannya
purnalah tapa sampai hari ke enam dalam goa
kesunyian abadi melingkupi hidup si koneng

tibalah malam ke tujuh yang mengejutkan
bening mata si koneng berat tak tertahan
tertidurlah ia dalam dekapan batu alam
dan purnama selimuti tubuhnya dengan pelita
yang menyusuri celah janur kuning kelapa
muncullah ksatria tampan perkasa
sebagai mimpi yang tak terimpikan

“potre koneng, kutemui kamu di puncak
gunung semadi
aku lah Adipodai yang kau rengkuh
di kedalaman batinmu
lelaki kelana dari pulau kecil di timur jauh
berdiam yang mulia di gunung
geger, bangkalan

malam lumat oleh percintaan ghaib
setetes air surga menembus rahim jagat wanita
sebelum ayam berkokok pecahkan sunyi madura

genaplah tapa di turis purnama
si koneng pulang bersama bayangan sang kratria
seluruh isi istana meriah oleh kembang kebahagiaan
tiba-tiba potre koneng muntah dengan wajah pucat
tabib-tabib mandraguna dari segala penjuru madura
dihadirkan ke benasare; satu jawaban sama,
hamil sudah si cantik jelita
murkalah ayahanda, sedih sungguh hati ibunda
diusirlah koneng dari istana
dengan sepunggung derita
dan janin cinta suci di perutnya

2012-2015


Lelaki dari Buwun

lelaki berang-legam wajahnya
muncul-menerjang dari pulau Buwun
peta masa depan, kompas perjuangan
lekat di lubuk dada – terkepal di tangan

laju kapal dari tepi-tepi pulau merantau
cepat-lesat terpacu gelombang darah cinta
demi tanah tumpah; ibu bahasa mula asal
menuju pulau raja-raja berkilau nusantara

tibalah ia, si berang-legam menerjang
nerjang mata siang dan malam tanah Mataram
yang terlelap di tengah bising pembangunan
angin berhembus dari laut selatan

angin bertiup dari lereng gunung merapi
mengisi paru-paru simpang tiga perlawanan

2016


Yang Terlantar dalam Puisi

tentang rindu yang dituliskan
terlantar – asing dalam antologi puisi
habis segala perlambang dikultuskan
sebagai perhiasan tragis gadis kesekian

masih tentang rindu dan soneta murahan
dirayakan dengan semarak terompet penghabisan
lampu-lampu kota mati, obor padam di pedalaman
terang sinar muncul dari tubuh penyair yang terbakar

penjaga langit menutup pintu segala ruh
pemangku bumi membenam kunci misteri
hanya ambang membentang ketaktapstian

kemudian rindu terbit lagi pada puisi-soneta
menjadi tembikar kusut di atap rumah
tempat burung hantu menghatamkan gelap

2016



Selendang Sulaiman, lahir di Sumenep, 18 Oktober 1989. Puisipuisinya tersiar di berbagai media massa seperti; Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Indopos, Suara karya, Minggu Pagi, Riau Pos, Merapi, Padang Ekspres, Lampung Post, Radar Surabaya, dan Majalah Sagang. Antologi Puisi bersamanya; Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga 2010), 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram (MP 2011), Ayat-ayat Selat Sekat (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), Bersepeda Ke Bulan (HariPuisi IndoPos, 2014), Bendera Putih untuk Tuhan (Antologi Puisi Riau Pos, 2014).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib