Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

Pembikin cover: Amin.
DI KAMPUNG YANG LAIN

Orang-orang melupakan satu hari, satu malam,
satu bulan serta tahun. Mereka cuma sibuk
memperbaiki selokan-jalan, melupakan
nama-nama segala persimpangan.

Orang-orang tak mengingat waktu,
tak mengingat nama hari, hanya gemar
dengan acara, mengajari anak-anak mampu
berkidung seperti burung, meniru peluit angin
dan menghafal letak serta alamat bintang.

Tak ada pertengkaran, satu sama lain
menjadi gunung dan menjadi laut yang lain
bagi tubuh yang lain, menjadi gema yang riang,
bernyanyi, sambil meniru goyang ilalang.

Tak ada bunyi lonceng, tak ada jam dinding,
setiap saat hanya nada; desau angin,
gemeretak ranting kering; hela napas
daun-daun yang bersiap tumbuh.

Pun tak ada kecurigaan, tak ada semi
hanya senyuman melahirkan semua senja:
beranak-pinak sepanjang jalan yang lain.


TUBUH YANG LAIN

Adalah pelataran musim
yang membelah dada hujan
juga kemarau sempat aku bagi

Seperti di halaman yang lain
semi menuangkan teh ke gelas
tapi dingin selalu membuangku

Aku menjadi belahan yang lain
melintasi lautan dan gunung
memecah hening di kening;

Ingatan berhenti, di depan pintu
seorang anak memelas air minum
dari tubuh; dari susu yang lain

Sedang kegetiran serupa lengan
disandera ketakutan-ketakutan
menjelma cemas; bergelung lapar

Di ruang itu, kupinjamkan lagi
sekendi luka dibuat dari lempung;
kau tahu, itu tubuhku yang lain


PARAGRAF USIA YANG LAIN

(1)
Kelak, tuaku seperti satu lonceng
pengingat sejuta risalah yang pasrah;
setiap derita adalah lautan bagi mata
yang simbah di atas lembah-lembah
menari bersama ilalang; duri.

(2)
Kelak, tuaku kian surut serupa laut
di pantaimu, aku selalu ingin singgah
menghitung jumlah kepergian, kakiku
tetap meninggalkan jejak di pasir itu
menekuri sepi di ujung senja, renta.

(3)
Kelak, tuaku sebuah lagu, using
di sudut-sudut kampung, di ladang itu
burung-burung gugur seperti daun-daun
tak kenal hijau; gema tak paham irama
kasidah lara di perapian, di malamku.

(4)
Kelak, tuaku semacam peta perjalanan
luka ke luka, orang-orang yang terluka
panjang nasib, adalah hulu, ujung temu
diawali, diakhiri di baris-baris puisi, jadi:
kenangan, semisal nista serta jeritan.

(5)
Kelak, tuaku menjadi gunung; batu
menyimpan kering dan luka gersang
belantara yang tak kenal diam; kata:
aku pernah datang serta akan pergi
pada sunyi; mati bersama ikan-ikan.


MADURA YANG LAIN

Aku mencintai ladang, gunung serta setetes laut
melihat tempat menyaring senja dalam kantong
naik-turun ke kaki langit bersama suwung, tidur
di peraduan hujan dan kemarau, dan bibir petani
menyiapkan sebakul cerita teruntuk masa depan.

Aku mencintai tubuhmu, semacam penghambaan
udara yang aku hirup tiap pagi bersama akar-akar
menjalar tiap ritus sufi, perjalanan nenek moyang
ke tanah lain, bersorban keringat di tubuh mentari.

Aku mencintai tak sebatas panjang jembatanmu
tapi seperti darah yang terus memenuhi pori-pori
bagi istana siang di rangkulan ilalang dan belalang
kehilangan semak-semak, semasa kecilku, dahulu
di sini, ceruk kerutmu serupa tubuhku yang lain.


Fendi Kachonk, lahir dan menetap di Desa Moncek, Kecamtan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Aktif di Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ), Forum Belajar Sastra (FBS). Dua komunitas yang didirikannya. Karyanya, berupa esai, dan puisi-puisinya kerap dimuat diberbagai media lokal dan Nasional dan di beberapa antologi bersama seperti: Sandal Kumal (2011), Indonesia Titik 13 (2012), Istana Air (2014), Hujan Kampoeng Jerami (2014), Memo Untuk Presiden (2014), Titik Temu (2014), Benale Sastra DKJT (2016). Dan, buku tunggalnya, Lembah Kupu-kupu (2014), Tanah Silam (2015), Surat dari Timur (2016), dan Halaman yang Lain (2017). Kini mukin di kampung kalhirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib