Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]



Sumber: Abstract Paintings for Sale


Lorong Sajak

Akhirnya sajak tetaplah jalan yang panjang
Penuh kerikil dan batu-batu nisan
Kaki-kaki yang telanjang dan memar
Belum sampai di ujung jalan
Bidadari dan malaikat datang memandikan
Setiap tubuh yang berlumpur kata-kata
Membasuh setiap hati yang bernanah
Maka di pertengahan jalan
belaian perempuan selalu semu
seperti kelebat fatamorgana kemarau
tapi sajak tetap jalan panjang


Telah Kutinggalkan Puisi

Telah kutinggalkan puisi
mencari tuannya di antara orang-orang yang terbungkam
Sebab pandang suram di depan
Ia mencari jalannya sebagai hamba atau tuan
Pada hati dan lubuk jantungnya tak ada lagi kematian
Tiada henti ia berjalan
bagai tuhan mengulurkan tangannya
mengusap kening pendosa
Hanya pada pujanngga
Puisi yang hamba, puisi yang tuan
Bersemayam purba


Jalan Diri

Aku berjalan di bawah rimbun pikiran
Melewati lorong-lorong lampau
Dari tulang belulang tersusun sejarah muram
Tak ada jejak di sini
Hanya suaraku memantul pada gema
menyusuri pikiran dengan kaki bercak
Ke bawah perdu pohon, aku tumpahkan resah
Entah, sampai kapan aku harus di sini.
Meniti lorong-lorong diri,
Membuat hidup dan kematianku sendiri
Inilah jalanku, menujumu


Angin yang Datang

Jika angin datang pada malam
Ia telah telanjang
Meninggalkan senggama para biduan
Oh, angin dari segala angin
Hadirkan yang terucap kala malam sempurna petang
“jadikan sepasang kekasih sebagai dewa
Hingga malam tak pernah lagi badai”
Angin datang
Menghembuskan suara perempuan
Aku di sini tualang



Suara Malam

Suara siapakah yang memanggilku dari balik malam
begitu lembut di telingaku terdengar
demi dada yang dalam aku mencari pada angin yang bergetar
hanya parau yang kutahu
Langkah siapakah yang mendekat
padahal jalan ke rumahku sangat terjal
terlalu curam untuk dilewati tuhan
tapi, ia seakan jantung yang terus berdetak
Bunga apakah ini, harumnya bertangkai di lambungku
berlabuh ke hatiku, seperti harum perempuan bermandi tujuh kembang
aku pasrah pada yang datang
aku hanya takut hening malam membuatku di angan


Syair Rindu

Ketika semi mengecup musimku
di pusara para pujangga kulihat guguran bunga
menanyakan rindu yang kian berlari ke palung waktu
Dari lapis ke tujuh di langit biru
bintik salju turun sebagai syair ilahi
Kaulah di sana, kasihku
Menabur bunga dan salju dari lengkung alismu
Musimku sudah lampau
Dingin kurengkuh dengan secawan anggur,
sebab rindu masihlah sirri
mengalir ke dalam waktu
kupeluk dina usiaku kian temaram
pada gemerlap malam kuhaturkan putih salju
dari tanganku yang lebam
rindu kian layu. Di musimku abad lalu.


Jalan Sebelum Tikungan

Di jalan terjal sebelum tikungan pulang
Kerontang tubuhku terlentang
linang kenang di mataku merayap ke ubun-ubun
aku melihat lampau jalanku niscaya
betapa sesal di tuai ke lembah hidup di mataku
kendati aku telah lahir tanpa mengenal benalu
tetaplah daku tempat meninggalkan silam
Seperti burung beterbangan ke langit khayal
tubuhku tertinggal, aku melayang dari negeri banal
sambil berceracau mencari getar cahaya
cinta tertanggal kepada yang tunggal
setelah kelam jalanku lampau


Hutan Rasa

telah aku tiadakan dukanaku dalam darah
meresap ke perdu kalbu
biarkan ia berdenting seperti malam jatuh menutup segala cahaya
sunyi pecah oleh bunyi yang disimpannya sendiri
maria, kemarilah! jejak sungai kelam di hutan rasaku padamu
gemericik air meyembur dari palung samudera
menyimpan seribu beloan dari percik kata-kata
karena engkau menyiram bunga seroja di nirwana, maria
pikirku tak selesai menerawang tubuhmu
kugantikan bayangmu yang lunglai
maka, aku pun lupa mengantarmu ke seberang


Hujan Mengecup Bumiku Malam Ini

Dengan bibir yang basah
Hujan mengecup bumiku malam ini
Harumnya menyeruak dari muka jendela
Pada dadaku tanah dan darah menyatu
Naluri menyanyikan larik-larik hujan
Yang turun seperti doa manusia
Malam berjubah hitam
Lalu, sepi merasuk ke lubuk kalbu.
Hujan datang membawa rindu ke rahim bumi
Begitulah caraku mengukir tubuhmu.







Den Rasyidi: lahir di Sumenep Madura, penggerak kajian filsafat di Lingkaran Metalogi dan aktif di Masyarakat Bawah Pohon. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beberapa karyanya di Suara Merdeka, Lampung Pos, Junas, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib