Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]


Perancang sampul: Alek Subairi

Pasean

Pada halaman rumah
yang menanam saudara kembarku
seorang diri aku datang kepadamu
malam yang gerimis jatuh terserak
di jalan setapak.

Dalam gelap pintu terbuka tanpa diketuk
berlarian menguji segala yang pulang
pada jejak angin di gunung pasir
menyebut-nyebut namaku.

Selain bermain dan menangis,
apalagi yang digandrungi bocah-bocah?
dan aku membaca kembali
usia yang lepas-terbang menjelma angan
pada yang tak kunjung sirna.

Sungguh telah lama kutinggalkan
perkampungan dan kini seakan-akan asing
kawan-kawan kecil yang lama tiada kabar
genting-genting rumah yang mengusam
rumah-rumah yang bertambah jendelanya

Kulihat wajah-wajah baru berkeliaran
lalu, badanku termangu ke utara
memeluk malam dan luka-luka
terasa akrab bau laut yang tak tuntas
menerka dada.

Tapi, memang benar kata ibu
yang hatinya tabah melepasku.
Lelaki mesti mencari tanah lain
demi kelahiran baru

Surabaya, 27 Desember, 2013


Birung*

Jalan kita akan memutar
di antara garis kurva

Dalam lingkaran
pertemuan akan lebih terbuka
tanpa sudut

Sebutkan nama kita satu persatu di badan yang berkubang
sebelum yang kita kenal menjelma setumpuk debu
“namaku tanah, namaku api, namaku air, namaku angin,
namaku batu, namaku kayu, namaku belerang,
namaku garam, namaku kerikil”

Memang sejak lahir kita berjarak dari yang tak akrab
bolehkah kita melebur dalam satuan lubang
anasir-anasir yang menunggal

Orang-orang yang hendak tahu
menggali badan kita dengan rajang
lalu setiap malam menyusunnya
dari tanah liat dan warna peluh.

Siang hari yang garang
lelaki- lelaki kekar lahir dari gunung memikul batu gerigi
perempuan-perempuan penyabar lahir dari hutan
menumpuk kayu bakar

“Susunlah batu-batu gunung di badanku serupa piramida.
Pelan-pelan masukkan kayu bakar seukuran mulutku
empar setengah karung garam, setengah karung belerang
karena angin selalu datang dari tiap-tiap arah
memancing api ke permukaan. ”

Bagaimana mungkin tegak tanpa berdiri
dari ukuran ruangannya masing-masing
tubuh bundar kita menjadi saksi kerikil
menyangga batu-batu besar
pertemuan ini seperti menyibak misteri seonggok negeri
yang tak kunjung bisa menyusun rumahnya sendiri

Lalu api bertemu kayu dalam gundukan
Asap hitam mencari kelebat bayang-bayang langit
Gaung-gaung api menarikan lagu badai
Tunggu sampai sehari semalam
Batu-batu yang tersusun akan segera matang
Di dalamnya angin dan air menggumpal
Puncak batu kembali debu
Seperti tubuh yang bakal mengabu

Surabaya 09 November 2012

* Birung: pembakaran batu atau batu gamping


Kidung Bulan Tua

Di bulan tua aku menemukan masa silam
meringkuk dalam gerai hujan
memeluk angin yang tersedu.

Nama-nama serta tanda-tanda yang lamur
berhamburan dari jendela kamar
lalu kujilat dengan ujung lidah
rasanya pahit
sementara suaraku terbata-bata dikuping malam

pandulune ki pujangga durung kemput
mulur lir benang tinarik
nanging kaseranging ngomor
andungkap kasidan jati
mulih mring jatining enggon”
Bisik Ronggowarsito dalam tembang

Mengapa hujan tak segera reda,
bila degup dada tersekap luka.
Mengapa hujan terus bernyanyi,
bila yang pergi tak pernah lenyap.

Kuingat-ingat, kutimang-timang
segala yang pernah terlihat
dan tak terlihat lagi
menjelma mumi dalam kepala
sekuntum mawar kuning
dipatahkan angin dari tangkainya
seperti menyeret aroma katiadaan
pada musim-musim tanggal

O semerbak hujan Desember!
tangan siapa yang menjahit langit robek
dari dusta angka-angka penanggalan.

Sungguh! pada saatnya akan tiba
di mana orang-orang tidak sibuk lagi
mengucap selamat tahun baru
melupakan kelahiran bayi,
memadamkan lilin-lilin yang menyala
di atas meja dalam pesta-pesta ulang tahun
juga pada saatnya akan tiba
di mana orang-orang ketakutan
menyentuh kulitnya yang keriput
lalu menukar birahi dengan jalan penyerahan

Tambe ngareh tambe ngomor. Dhaun tombu dhaun gagghar
Oban tombu ngolok pateh. Seang areh duh ma` seang malem
Bheng malate tombu e koburan, bila enga` ka sesettong
Dimma bara` dimma temor ngaleh somor dalam badhan
Samogha`a nemmo jhalan.
Lanjhang omor lanjhang partobatan

O betapa pendek kaki hari
dilumpuhkan matahari!
yang mendaur degup pada yang tak pasti
dan puisi dalam sunyi
telah mengamini kefanaan
para pengembara yang selalu berdebat;

Apakah waktu bertelur atau berpinak?
memanjang atau melingkar?

Dengan rendah hati kuucapkan
kepada hujan di bulan tua:
selamat tinggal bulan-bulan buntung!
selamat datang bulan-bulan tunggang!
air tetap meleleh di antara daun-daun
yang akan gugur ke hamparan tanah
kenangan dan keterasingan, juga
meleleh di hatiku yang limbur
menuju esok yang sunyi terang.

Surabaya, 09 desember 2013


Khalil Tirta, lahir di pulau Madura, 1992. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Pernah kuliah di UIN Sunan Ampel, Jurusan Teologi dan Filsafat (tidak selesai). Selain itu, pernah juga kuliah di STKW Surabaya, jurusan karawitan (tidak selesai). Bergiat di Komunitas Tikar Merah Surabaya dan padepokan seni Al Belabeto. Sajaksajaknya terantologi dalam beberapa terbitan secara komunal, di antaranya; “Annuqayah dalam Puisi” (PPA, 2008) “Manuskrip dalam Sajak”(PPA Publishing, 2009) “Sepasang Lelaki Pemburu Matahari (2010) “Getir Maut yang Memburu” (PPA 2011) “Tualang Kopi” (Halte Sastra, DKS, 2013). “Lelaki Kecil di Terowongan Maling” (Melati Press 2013). Sekarang sedang merintis warung kopi dan burung-burung. Via email: khaliltirta@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib