Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]



BIRUNG

Jalan kita akan memutar
Di antara garis kurva

Dalam lingkaran
Pertemuan akan lebih terbuka
Tanpa sudut

Sebutkan namamu satu persatu di badanku yang berkubang
Sebelum nama-nama kalian menjelma setumpuk debu

“ namaku tanah, namaku api, namaku air, namaku angin,
namaku batu, namaku kayu, namaku belerang, namaku garam,
namaku kerikil”

Memang sejak lahir kita berjarak dari nama-nama
Bolehkah kita melebur dalam satuan lubang
Anasir-anasir yang menunggal

Orang-orang yang hendak tahu menggali badanku dengan rajang
Lalu setiap malam menyusunnya dari tanah liat dan warna peluh
Siang hari yang garang
Lelaki- lelaki  kekar lahir dari gunung memikul batu gerigi
Perempuan-perempuan penyabar lahir dari hutan menumpuk kayu bakar

“susunlah batu-batu gunung ini di badanku serupa piramida,
pelan-pelan masukkan kayu bakar seukuran mulutku
lempar setengah karung garam, setengah karung belerang
karena angin selalu datang dari tiap-tiap arah
Memancing api ke permukaan ”

Bagaimana mungkin tegak tanpa berdiri
Dan ukuran ruangannya masing-masing
Tubuh bundarku menjadi saksi kelikir menyangga batu-batu besar
Pertemuan ini seperti  menyibak misteri seonggok negeri
Yang tak kunjung bisa menyusun rumahnya sendiri

Lalu api bertemu kayu dalam gundukan
Asap hitam mencari kelebat bayang-bayang langit
Gaung-gaung api di badanku menarikan lagu badai
Tunggu sampai sehari-semalam
Batu-batu yang tersusun akan segera matang
Di dalamnya angin dan air menggumpal

Puncak batu kembali debu
Seperti tubuh yang menyusunku

November 2012



KENCING KUNING

Menguning benar pendar bintang yang merambat dari timur
Menyerupai badan yang terlempar dari lubang-lubang gelap.
Bau tak sedap. Menggeriap.

Ketika tangis jatuh dalam hentakan keringat ibu di ranjang
Dari hulu kita bawa sulur pesing ke sekujur badan
Mencari air yang memancar di permukaan sumur

Katakan, ini buah hasrat dalam bij-biji mu`jizat.
Tubuh yang dibaiat suci dari secawan kencing
Sebab pintu langit adalah kelamin yang menulis dan ditulis.

Di pagi hari perawan dan perjaka mulai belajar mandi
Dari ujung rambut sampai ujung kaki menggenapi niat bersuci
Serupa langit melempar hujan ke tengah ladang
Benih-benih yang kita selipkan akan tumbuh dan berbiak

Dan kita memang memilih jalan rahasia. Bocah-bocah tak boleh tahu
Sebelum baligh dan bermimpi meniduri bidadari di rimbun gelap.
Di situ rahasia para nabi, para leluhur yang menambah kepala dengan subur
Menggeluti warna diri. Bau diri. Merenangi tanah-tanah becek.

Jangan mungkir, bukankah memang kita menyembul
Dari sepasang lubang yang saling menghimpit
Saling melempar kencing di ranjang tua.
Ranjang yang pernah bergoyang di malam hari.

Bahkan, darat yang kita lihat sudah menyatakan diri
lewat sungai dan laut, lembah dan gunung
Sumur dan kamar mandi yang kita buat
Untuk membasuh badan,
Kita sucikan seluruh kuman di lekuk jalan

Dan air mengalir membawa pesing sampai ke comberan.

Pasean, 20 November 2012


SAPI-SAPI KEMARAU

Dan kita belum selesai menunggu mata langit menyungai
Dalam derau sepasang sapi yang kurus-kerempeng di kandang.

Seseorang mengharap malam dari nyanyian kodok di pematang.
Langit barangkali sekedar mata yang menerobos
Celah-celah batin pohon yang menunggu kencing langit dari kelebat mendung
Siapa yang kuasa menumbuhkan pohon dalam tanah kering.

Semua penyimpanan rumput di rangkun sudah kita geledah.
Tak ada lagi. Daun pisang, daun nangka, daun palembang
Seperti kepala yang baru gundul.

Pertanda apakah ini.sapi-sapi menangis di malam hari.
Langit yang tak mengasihi.kita yang sering tak mengerti.
Bulan berkabung. Malam tanpa mendung. berbagi sepi.

Bila nanti hujan turun, sepasang sapi yang akan menawar hari
Dalam tarian panjang di antara tegal yang mulai bimbang

Puji-pujian juga sudah mulai kering
Kenapa tak mengirim nyanyian di tepi pesisir
Sambil memancing seruap air dengan tajin.
Bunyi calung dan gendang membeku di dapur belakang
Lalu kepala linglung. Kemarau memanjang dalam kandang.
kepada puji syukur yang tersungkur di semak belukar.

“Cuaca yang makmur memang kerap melupakan.
Kita lebih memilih lupa seperti umat Musa”

Siapa yang mesti kita ingat pertama kali dalam hujan
Seseorang yang berbuat dosa  selama 40 tahun
Dan tuhan merahasiakannya?
Atau yang menjadikan daun-daun menyemi hijau
Rumput mekar dalam kerucut
Mencari kandang

Pasean 19 November 2012



Khalil Tirta Anggara, lahir di pulau Madura, 1992. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk. Kini masih kuliah di UIN Sunan Ampel, Jurusan Teologi Dan Filsafat. Bekerja di Komunitas Tikar Merah Surabaya, dan Padepokan Seni Albelabeto. Sajak-sajaknya terantologi dalam beberapa terbitan secara komunal, di antaranya; “Annuqayah Dalam Puisi” (PPA, 2008) “Manuskrip Dalam Sajak” (PPA Publishing, 2009) “Sepasang Lelaki Pemburu Matahari (2010) “Getir Maut Yang Memburu” (PPA 2011) “Tualang Kopi” (Halte Sastra, DKS, 2013). Lelaki Kecil Di Terowongan maling (Melati Press, 2013).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib