Arsip Puisi Penyair Madura (Se)-Indonesia

Full width home advertisement

PUISI INDONESIA

PUISI MADURA (SANJA')

Post Page Advertisement [Top]

Di Atas Jembatan Cisadane

Ilustrasi (http://www.biem.co/) : Lukisan Leonid Afremov BRIDGE OVER INNOCENCE via http://afremov.com
1//
Seikat kenangan menderai dari langit ingatan
Terburai lepas ke deras arus sungai rindumu
Di jembatan bentangan bianglala cintamu
Di arak angin ke dalam dekapan hujan

Ada guguran kembang anemun
Di halaman rumah, di dahan khuldi
Di sunyi kamar ibu yang enggan berbagi
Jantungmu terbelah dikoyak ngungun

2//
Alangkah kelam nestapa di kandung saudara sedarah
Didegup malam pesta, di ranjang pinjaman
Cintaku luruh dari tingkap harap
Merasuk ke lubuk maut

Ibu, pada aroma parfum malammu
Kusesap wangi bunga neraka
Pada derai tawa hari-hari sepi
Alangkah lezat dosa untuk kujauhi

3//
Di remang Tangerang, kita meniti jembatan usia
Pendatang-pendatang berebut tempat
Reklame, gedung-gedung merangsek
Dan, kita pun semakin jauh tersesat

Lumajang menderai jauh
Runcing bambu 10 November terkubur

O, bagaimana kita mesti mengisahkan nasib tanah lahir

Achebe, p’ Bitek, hunjamkan ujung penamu
koyak-moyaklah kalbuku
Agar Afrika yang resah,
gadis-gadis yang merias alis dengan arang tungku
Bisa kubawa lari jauh ke lereng Semiru,

Akan kukisahkan suara bungkam
orang-orang Lumajang
Pelarian Madura yang merana

Jhon Stanbeck, seperti di dataran Tortillamu
Akan kau jumpai dataran pendalungan,
Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang

O, Marques apalah arti seribu tahun kesunyianmu
Bagi Banyuwangiku yang manis dan magis?

Dan kau, Ernest Hemingway,
datanglah bersama lelaki tua dan lautmu
Ke selat Madura,
Mahwi, akan menunjukkanmu Laut Karapan

4//
Tapi di sini, di kedai yang menyimpan dendam ini
Sapuan bianglala menjelma sepasang kekasih
Haru biru déjà vu, genangan hujan,
anak-anak yang dilumat mulut mimpi
Tak pernah kutemukan baris-baris kisah,
tawa dan sedih berjalan nestapa
Atau kembang Mayang, yang jemu menanti kekasih tiba

Petang mengambang tinggalkan Pecinan
Kita susuri sungai Cisadane
Dan kenanganlah, Lumajang, Madura
Di jalan kerinduan dan batas kelana

Meski diri tak pernah setia
Seperti denyut arus Cisadane
Melumat buku alamat pendatang

Di sini, rindu dendam akan selalu kita jelang
Seperti juga Laron dan Kunang-kunang
Tak jua bosan dalam pelukan malam
Hingga tiba ciuman fajar

Tangerang, 2014-2015
Sumber: http://www.biem.co/read/2015/06/24/161/puisi-mahwi-air-tawar-di-atas-jembatan-cisadane

MAHWI AIR TAWAR, lahir di pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Bali Post, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Sajak, dan lain-lain. Cerpen dan puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama, di antaranya 3 Penyair Timur (2006, puisi), Herbarium (2006, puisi), Medan Puisi, Sampena the 1  International Poetry (2006, puisi), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008, puisi), Sepasang Bekicot Muda (2006, cerpen), dan Robingah, Cintailah Aku (2007, cerpen). Salah satu cerpennya yang berjudul Pulung terpilih sebagai cerpen terbaik dalam lomba yang digelar oleh STAIN Purwokerto dan terkumpul dalam buku  Rendezvouz di Tepi Serayu (2008-2009), Jalan Menikung ke Bukit Timah (TSI II, cerpen), Ujung Laut Pulau Marwah (TSI III, cerpen), Tuah Tara No Ate (TSI III, cerpen), Perayaan Kematian (2011, cerpen). Kumpulan cerpen pertamanya, Mata Blater (2010), mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta, 2011. Ia aktif mengelola komunitas sastra Poetika dan Kalèlès, Kelompok Kajian Seni Budaya Madura, di Yogyakarta. Buku cerpennya yang terbaru adalah Karapan Laut (2014). Sehari-hari ia bekerja sebagai editor Komodo Books. (Sumber: http://dennyja-world.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Blogger Templates - Designed by Colorlib